CITRA KEKERASAN
PEREMPUAN
Pencitraan
merupakan kumpulan citra (the collection of images) yang dipergunakan
untuk melukiskan objek dalam karya sastra. Pencitraan erat kaitannya dengan
sebuah citra karena pencitraan kumpulan dari citra tersebut. Gambaran mengenai
perempuan dalam merepresentasikan kehidupannnya melalui karya prosa dan fiksi
dapat berupa citra perempuan. Keberadaan gender sering kali dikaitkan dengan
citra perempuan sebagai sebuah daya tarik sendiri untuk diceritakan dari banyak
hal. Baik perempuan tersebut dengan sifat kodratinya maupun perempuan sebagai
manusia dengan hak-haknya. Perempuan yang sadar akan nasib, cita-cita, dan
haknya sebagai perempuan, menjadikan citra perempuan yang tangguh dalam
memperjuangkan kesetaraannya.
Membicarakan masalah kekerasan terhadap perempuan, seakan-akan
tidak ada pernah habisnya. Hampir setiap hari kita diberi sajian yang
mengekspose kekerasan baik melalui media massa maupun media–media yang lainnya.
Orang memukul, menganiaya, memperkosa bahkan membunuh hampir merupakan “santapan“
wajib. Bahkan berita atau tayangan yang memuat peristiwa kriminal selalu
menjadi headline, seakan-akan orang sudah memandang itu suatu yang biasa
terjadi.
Tindak kekerasan ini tidak hanya terjadi di luar lingkungan rumah,
bahkan di dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi
setiap anggota keluarga, kenyataannya bisa menjadi tempat yang menakutkan
terutama bagi perempuan. Bila anggapan umum menyatakan tempat yang berbahaya adalah
di luar rumah, bagi perempuan faktanya tampak tidak demikian. Perempuan justru
lebih sering dilukai dan mengalami kekerasan dalam lingkup personal, baik dalam
kaitan perannya sebagai istri, anak, anggota keluarga lain, pacar atau teman
intim. Kekerasan terhadap perempuan, bisa
terjadi dimana
saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Kekerasan ini bisa terjadi ditengah keramaian
pasar di siang hari atau di jalan yang sepi pada malam hari. Akan tetapi,
sangat mengherankan, bahwa banyak kekerasan yang terjadi di rumah tangga, dan
kebanyakan kekerasan tersebut dilakukan oleh seorang yang dekat dan dikenal baik
oleh korban.[1]
Tindak kekerasan tidak hanya
merupakan masalah individual atau masalah nasional saja, tetapi sudah merupakan masalah global,
bahkan transnasional. Karena itu di dalam masyarakat dikenal berbagai istilah,
seperti “violence against women, “gender based violence”, “gender violence”,
“domestic violence” yang korbannya adalah peremuan, sementara bagi
anak-anak dikenal juga istilah, “working children”, “street childern”, “childern
in Jhon D. Pasalbessy, armed conflict”, “urban war zones”, dan sebagainya.[2]
Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan merupakan konsep baru,
namun pemaknaan mengenai batasan kekerasan terhadap perempuan dan anak
nampaknya belum ada definisi tunggal dan jelas dari para ahli atau pemerhati
maslah-masalah perempuan. Tindak kekerasan adalah melakukan kontrol, kekerasan
dan pemaksaan meliputi tindakan seksual, psikologis, fisik dan ekonomi yang
dilakukan individu terhadap individu yang lain dalam hubungan rumah tangga atau
hubungan intim (karib). Kemala Candrakirana
mengemukakan
kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan termasuk penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis dan penelantaran. Termasuk ancaman yang menghasilkan kesengsaraan
bagi seseorang.[3]
Perempuan dan segala hal yang melekat baik itu dalam
dirinya seperti sifat, kebiasaan, dan kepribadian maupun secara fisik atau
tampilan luarnya dalam kehidupan bermasyarakat selalu menarik untuk
diperbincangkan. Pembahasan mengenai perempuan menjadi menarik karena di dalam
masyarakat, perempuan seringkali dibedakan, tidak hanya secara fisik secara
sosialpun berbeda. Konsep gender melihat bahwasannya masyarakat
mengkontruksikan sifat-sifat yang melekat pada perempuan dan laki-laki secara
sosial maupun kultural, yang dapat berubah dan dipertukarkan (Astuti 2008: 3).
Pembahasan
mengenai perempuan dan media sangatlah kompleks mulai dari eksploitasi akan
produk, konstruksi masyarakat, bahkan tubuh perempuan itu sendiri. Media
berperan sebagai agen konstruksi sosial dengan cara merepresentasikan perempuan
seperti yang ada dalam berita (Hasnah, 2015:170). Citra atau representasi
perempuan dalam media yang tergambar secara fisik tersebut bisa jadi termasuk
kekerasan seksual. Media menggunakan tubuh perempuan sebagai konsumsi publik
yang dianggap lebih menarik untuk dipertontonkan (Muashomah, 2010:144).
Media massa memiliki tanggapan tersendiri dalam memuat
berita-berita tentang kekerasan seksual yang dialami perempuan, dengan berusaha
membangun opini-opini publik yang nantinya dijadikan bahan dalam pemberitaan.
Bangunan-bangunan opini publik tersebut nantinya akan menjadi sebuah konstruksi
sosial yang melembaga dalam masyarakat. Konstruksi sosial yang terbangun
biasanya memuat akan citra atau penggambaran perempuan dalam masyarakat dan
tidak jarang pula dijumpai berita yang di dalamnya termuat ketidakadilan
gender. Peran media massa dirasa begitu berpengaruh terhadap munculnya
produk-produk konstruksi sosial dalam masyarakat, khususnya pada kasus
kekerasan terhadap perempuan melalui muatan berita yang dikonsumsi oleh
masyarakat secara luas, dengan begitu proses konstruksi sosial dalam masyarakat
dapat terjadi secara lebih cepat dibandingkan melalui opini-opini publik yang
dibangun secara tatap muka (Bungin, 2007: 203).[4]
Perempuann itu
bernama Sophiia Latjuba, ketika ia berada di sebuah pabrik kain tenun sutra,
kemudian ia mandi disebuah telaga asri. Dua latar ini dikreasi secara serasi
oleh media sehingga terkesan begitu indah, lembut,dan mengesankan. Ituulah
sisi-sisi utama dalam iklan salah satu produk sabun yang saat ini sedang dalam
masa tayangg di stasiun televisi.
Kecantikan Sophia,
kelembutan kain sutra dan suasana telaga yang indah, merupakan tiga fokus yang
diangkat oleh copywriter untuk
mengkonstruksi sebuah taste dan tiga kata; cantik,lembut dan indah. Itulah taste yang terdapat pada produk sabun mandi yang
diiklankan. Namun, taste tersebut didominasi oleh kecantikan perempuan
yang bernama Sophia. Suasana kelembutan daan keindahan yang ada dalam iklan itu
terasa di hidupkan oleh copywriter dengan menghadirkan sosok perempuan
cantik itu. Ini adalah sebuah contoh
cerita dari kelaziman klasik orang mengagumi keindahan perempuan. [5]
Keindahan
perempuan dan kekaguman lelaki terhadap perempuan adalah cerita klasik dalam
sejarah umatt manusia. Dua hal itu pula menjadi dominan dalam inspirasi banyak
pekerja sen dari masa ke masa. Namun, ketika perempuan menadi simbol dalam
seni-seni komersial, maka kekaguman-kekaguman terhhadap perempuan itu menjadi
sangat diskriminatif, tendensius,bahkan menjadi suborinasi dari simbol-simbbol
kekuuatan laki-laki. Bahkan terkadang mengesankan perempuan menjadi
simbol-simbol kelas sosial yang kehadirannya dalam kelas tersebut hanya karena
kerelaan yang dibutuhkan laki-laki.
Carwoto mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan
yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan atau juga dikenal dengan
kekerasan dalam rumah tangga.9 Kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap
perempuan dan anak dalam rumah tangga disebut juga kekerasan domestik (domestic
violence). Kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga juga
disebut kekerasan keluarga. Sebenarnya kedua istilah tersebut mengandung arti
yang tidak sama. Dari beberapa pengertian kekerasan terhadap perempuan dan anak
yang telah dikutip di atas, nampaknya pendapat Kemala Candrakirana yang paling
luas karena lingkup kekerasan yang dikemukakannya mencakup kekerasan fisik, seksual,
psikologis dan penelantaran, termasuk ancaman yang menghasilka kesengsaraan dan
penderitaan dalam lingkup rumah tangga.
Pengertian kekerasan terhadap perempuan dan anak di samping seperti
telah dikemukakan di atas, juga diatur dalam peraturan perundangundangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan,
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (PKDRT). Di dalam KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP
yang menyatakan “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan”. Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan,
pada Pasal 1 mengenai apa yang dimaksud dengan “kekerasan terhadap perempuan”
yaitu setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau
mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual
atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan
pribadi.[6]
Saat
ini ketika karya-karya seni kreatif seperti iklan menjadi konsumsi masyarakat
dalam berbagai media massa, posisi perempua ini menjadi sangat potensial untuk
dikomersialkan dan di eksplooitasi, karena posisi perempuan menjadi sumber
inspirasi dan juuga tambangg yang tak habis-habisnya.
Eksploitasi perempuan dalam
pencitraa media massa tidak saja karrena kerelaaan perempuan, namun juga karena
kebutuhan kelas sosial itu sendiri, sehingga mau ataupun tidak kehadiran
perempuan menjadi sebuah kebutuhan dalam kelas sosial tersebut. Sayangnya
kehadirran perempuan dalam kelas sosial itu, masih menjadi bagian dari refleksi
realitas sosial masyarakatnya,bahwa perempuan selalu menjadi subordinaat
kebudayaan laki-laki. Karenanya, tetap saja perempuan di media massa adalah
“perempuannya lelaki” dalam realiitas sosialnya. Namun, dalam koneks perempuan,
terkadang perempuan tampil dalam bentuk yang lebbih keras dan keluar dari
streotip perempuan sebagai sosok lembut dan tak berdaya. Perempuan juga sering
tampil seebagai perayu, penindas,bahkan sebagai pecundang. Sosok perempuan ini
banyak ditemukan dalamiklan media,sekaligus merupakan rekonstuksi terhadap
dunia realitas perempuanitu sendiri.[7]
Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap
Perempuan
Beberapa bentuk
kekerasan terhadap perempuan dalam headline news beberapa media sebagai
berikut:
1.
Kekerasan fisik: memukul, menampar,
mencekik dan sebagainya;
2.
Kekerasan psikologis: berteriak,
menyumpah, mengancam, melecehkan dan sebagainya
3.
Kekerasan seksual, seperti:
melakukan tindakan yang mengarah keajakan/desakan seksual seperti menyentuh,
mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dan lain sebagainya
4.
Kekerasan finansial: mengambil
barang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial dan
sebagainya
5.
Kekerasan spiritual: merendahkan
keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban mempraktekan ritual dan
keyakinan tertentu.[8]
Sering juga muncul persepsi bahwa seorang
perempuan yang menjadi korban akan berpikir bahwa ia mempunyai andil terhadap
suatu kejahatan, walaupun sebenarnya tidak demikian. Contohnya perkosaan,
seorang perempuan korban perkosaan cenderung untuk menyimpan dukanya (psikis
dan fisik), karena mungkin ia menganggap bahwa kedatangannya ke lembaga penegak
hukum hanya akan menimbulkan viktimisasi ganda pada dirinya.
Berbagai tindak kekerasan yang sering terjadi dan menimbulkan
korban dikalangan perempuan seperti, (a) serangan seksual; (b) kasus pembunuhan
terhadap ibu atau nenek baik karena motif ekonomi maupun karena rasa marah yang
tidak terkendali; (c) pornografi; (d) tindak kekerasan oleh majikan terhadap
pembantu rumah tangga yang sering terjadi dan umumnya dilandasi oleh rasa
jengkel bahkan benci, serta beberapa tindak kekerasan lainnya.[9]
Dalam
kehidupan sosial, pada hubungan perempuan dan laki-laki, posisi perempuann
selalu ditempatkan pada posisi “wengking”, “orangg belakang”, “subordinasi”,
perempuan selalu yang kalah, namun sebagai “pemuas” pria, pelengkap dunia
laki-laki. Hal-hal inilah yang direkonstruksi dalam media massa melalui
iklan-iklan komersial, bahwa media massa hanya merekonstruksi apa yang ada di sekitarnya, sehhinggaa media
massa juga disebut sebagai refleksi dunia nyata, refleksi alam di sekitarnya.
Jadi, ketika
satu regu penembak berpakaian hitam-hitam berdiri di depan seseorang
“marapidana” dan siap melakuakan eksekusi (iklan Shampo Clear), ternyata nara
pidana itu adalah perempuan, begitu pula ketika bintang tujuh mencitakan
amnnfaat minuman Irex ( iklan irex serial lembur), maka perempuanlah yang
menjadi judgment manfaat tersebut. Begitu pula hampir semua iklan susu,
menggunakan perempuan sebagai judgment manfaat dari produk tersebut,
termasuk juga iklan-iklan sabun,pasta gigi, dan iklan kebutuhan rumah tangga
lainnya.[10]
Keindahan perempuan menempatkan
perempuan dalam streotip perempuan dan membawa mereka ke sifat-sifat di sekitar
keindahan itu, seperti perempuan harus tampil menawan, pandai mengurus rumah
tangga, memasak tampil prima untuk menyenangkan suami dan pantas diajak ke
berbagai acara, cerdas serta sumber pengetahuan dan moral keluarga. Streotip ini menjadi ide daan citra sekaligus
sumber eksploitasi perempuan diberbagai media juga menjadi sumber protes terhadap
iklann-iklan yang dianggap “ melecehkan” citra itu. Namun, pandangan lain
membantah, bahwa ekspoitasi perempuan dalam media iklan, tidak sekedar karena
streotip diatas, akan tetapi disebabkan umumnnya pemirsa iklan adalah
perempuan, dan barang-barang yang diiklankan
adalahh perempuan atau yang berhubungan dengan perempuan. Perempuan
sesungguhnyaa paling dekat dengan media massa, jadi tidak saja streotip , namun
segmen perempuan juga menjadikan alasan kuat mengeksploitasi perempuan dalam
media massa.
Dalam banyak iklan yang didapatkan
di mediaa massa, streotip perempuan juga
digambarkan secara bebas, yang mana ia bisa menjadi penindas ( iklan sabun Omo
serial si putih dan si merah ).
Perempuan juga harus tampil cantik secara fisik dan tetap awet muda bila ingin sukses, mampu mengurus semua keperluan rumah tangga dan anggota
keluarga,dan sebagai objek seks. Iklan
juga menghidupkan streotip tentang perempuan,
bahwa sejauh-jauhnya peempuan pergi, akhirnya kembali juga di dapur.
Kemudian iklan juga menghidupkan selera lama kepada perempuanberambut panjang.
Seperti umumnya iklan shampo menggunakan bintang iklan berambut panjang dan lurus untuk
menumbuhkan rasa ketertarikan kepada produk tersebut.
Sesuatu yang kembali ke streotip perempuan,bahwa
apa yang perempuan lakukan dalam iklan-iklann itu hanyalah untuk mennyenangkan
orang lain,terutama laki-laki, sedangkan ia sendiri adalahh bagian dari upaya
menyenangkan bukan menikmati rasa senangnya, dan tanpa sadar kalau ia merasa
senang dirinya dieksploitasi.
Perempuan juga digambarkan dalam iklan sebagai kelompok
pinggiran,umumnya kehadiran perempuan dalam banyak iklan hanya sebagai
pelengkap dan sumber legitimasi terhadap realitas yangg diuungkapkan, seperti
iklan Eextra Joss ( serial dipengeboran minyak), peran utama iklan laki-laki
adalah lelaki;gagah, kuat, perkasa, dan tampan, sedangkan perempuan hanya tokoh
yang hadir untuk mengagumi sifat-sifat itu.
Iklan juga umumnya menempatkan
perempuan sebagai pemuas seks laki-laki, iklan permen Pindy Mint “
Dingin-dingin Eempuk” iklan Torabika “ Pas susunya”, ikaln Sidomuncul “Puass
rasanya”,dan lainnya. Sebagaimana diketahui, seks dalam masyarakat, selalu digambarkan sebagai kekuasaan laki-laki
terhadap perempuan. Dalam masyarakat patriarchal, seks merupakan bagian
yang dominan dalam hubungan laki-laki
dan perempuan, serta menempatkan perempuan sebagai subordinasi.[11]
Semua bentuk kekerasan, siapapun pelaku dan korbannya dapat
dikelompokkan dalam penggolongan besar:
a.
Kekerasan dalam area
domestik/hubungan intim-personal: berbagai bentuk kekerasan yang pelaku dan
korbannya memiliki hubungan keluarga/hubungan kedekatan lain. Termasuk disini
penganiayaan terhadap istri, penganiayaan terhadap pacar,bekas istri, tunangan,
anak kandung dan anak tiri, penganiayaan terhadap orangtua, serangan seksual
atau perkosaan oleh anggota keluarga.
b.
Kekerasan dalam area publik: berbagai bentuk kekerasan
yang terjadi di luar hubungan keluarga atau hubungan personal lain.
c.
Kekerasan yang dilakukan oleh/dalam lingkup Negara:
kekerasan secara fisik, seksual dan/atau psikologis yang dilakukan, dibenarkan,
atau didiamkan/dibiarkan terjadi oleh negara.
Bila melihat pada bentuk kekerasan seperti tersebut diatas maka incest
termasuk dalam bentuk kekerasan dalam area domestik. Tercakup dalam bagian
ini, berbagai bentuk kekerasan dan abuse seksual, termasuk incest.
Kekerasan dan abuse seksual pada masa kanak sering tidak teridentifikasi,
dan karena anak belum dapat memahami dengan sepenuhnya apa yang terjadi pada
dirinya. Beberapa hal yang dapat terjadi adalah: anak mengembangkan pola adaptasi
dan keyakinan-keyakinan yang keliru sesuai dengan sosialisasi yang diterimanya,
betrayel (merasa dikhianati), stigmatisasi, sexual traumatization (trauma
seksual).[12]
Faktor-faktor
Penyebab Kekerasan terhadap Perempuan Perspektif Media Massa
Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi tanpa membedakan latar belakang
ekonomi, pendidikan, pekerjaan, etnis, usia, lama perkawinan, atau bentuk fisik
korban. Kekerasan adalah sebuah fenomena lintas sektoral dan tidak berdiri
sendiri atau terjadi begitu saja. Secara prinsif ada akibat tentu ada
penyebabnya. Dalam kaitan itu Fathul Djannah mengemukakan beberapa faktornya
yaitu:
1.
Kemandirian ekonomi perempuan. Secara
umum ketergantungan perempuan terhadap laki-laki dapat menjadi penyebab
terjadinya kekerasan, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian karena kemandirian
perempuan juga dapat menyebabkan perempuan menerima kekerasan oleh laki-laki;
2.
Karena pekerjaan perempuan. Perempuan
bekerja di luar rumah dapat menyebabkan perempuan menjadi korban kekerasan;
3.
Perselingkuhan laki-laki.
Perselingkuhan laki-laki dengan perempuan lain atau laki-laki kawin lagi dapat
melakukan kekerasan terhadap perempuan;
4.
Campur tangan pihak ketiga. Campur tangan anggota
keluarga dari pihak laki-laki, terutama ibu mertua dapat menyebabkan laki-laki
melakukan kekerasan terhadap perempuan;
5.
Pemahaman yang salah terhadap ajaran
agama. Pemahaman ajaran agama yang salah dapat menyebabkan timbulnya kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga
6.
Karena kebiasaan laki-laki, di mana
laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan secara berulang-ulang sehingga
menjadi kebiasaan.[13]
Solusi
Pemecahannya
Tampaknya tindak kekerasan terhadap perempuan
dan anak merupakan masalah interdispliner, baik politis, sosial, budaya,
ekonomis maupun aspek lainnya. Diakui bahwa tindak kekerasan akan banyak terjadi, di mana ada
kesengjangan ekonomis antara laki-laki dan perempuan, penyelesaian konflik
dengan kekerasan, dominasi laki-laki dan ekonomi keluarga serta pengambilan
keputusan yang berbasis pada laki-laki. Sebaliknya, jika perempuan memiliki
kekuasaan diluar rumah, maka intervensi masyarakat secara aktif disamping
perlindungan dan kontrol sosial yang kuat memungkinan perempuan dan anak
menjadi korban kekerasan semakin kecil.
Dari berbagai pengalaman selama ini, maka solusi terhadap
penanggulangan tindak kekerasan terhadap perempuan mesti mencakup hal-hal
sebagai berikut :
1.
Meningkatkan kesadaran perempuan
akan hak dan kewajibannya di dalam hukum melalui latihan dan penyuluhan (legal
training).
2.
Meningkatkan kesadaran masyarakat
betapa pentingnya usaha untuk mengatasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan
dan ana, baik di dalam konteks individual, sosial maupun institusional;
3.
Meningkatkan kesadaran penegak hukum
agar bertindak cepat dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan maupun anak;
4.
Bantuan dan konseling terhadap korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak;
5.
Melakukan kampanye anti kekerasan
terhadap perempuan dan anak yang dilakukan secara sistematis dan didukung oleh
karingan yang mantap.
6.
Pembaharuan hukum teristimewa
perlindungan korban tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak
serta kelompok yang rentang atas pelanggaran HAM.
7.
Pembaharuan sistem pelayanan
kesehatan yang kondusif guna menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan
anak;
8.
Bagi anak-anak diperlukan
perlindungan baik sosial, ekonomi mauoun hukum bukan saja dari orang tua,
tetapi semua pihak, termasuk masyarakat dan negara.
9.
Membentuk lembaga penyantum korban
tindak kekerasan dengan target khusus kaum perempuan dan anak untuk diberikan
secara cuma-cuma dalam bentuk konsultasi, perawatan medis maupun psikologis
10.
Meminta media massa (cetak dan
elektronik) untuk lebih memperhatikan masalah tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak dalam pemberitaannya, termasuk memberi pendidikan pada
publik tentang hak-hak asasi perempuan dan anak-anak. [14]
DAFTAR PUSTAKA
Bungin,Burhan.
Sosiologi Komunikasi,Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup.2006.
Hasanah
Hasyim, Kekuasaan terhadap Perempuan dan Anak dalam Rumah Tangga Perspektif
Pemberitaan Media, Jurnal Sawwa, 9(1) : 159-178
Hidayat
Mohammad Taufiq,Iswari Rini,Akhiroh Sholikhah Ninuk., Citrra Perempuan dalam
Berita Kekerasan Seksual, Jurnal Unnes, 6(2) : 148-155
Pasalbessy
Drik John, Dampak Ttindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak serta
Solusinya, Jurnal Sasi, 16(3) : 8-13
Retnaningrum
Hapsari Dwi, Incest sebagai Bentuk Manifestasi Kekerasan terhadap Perempuan,
Jurnal Dinamika Hukum, 9(1) : 19-29
[1]
Lihat Dwi Hapsari Retnaningrum , Incest sebagai Bentuk Manifestasi Kekerasan
terhadap Perempuan,Jurnal Dinamika Hukum, 2009, hlm.2.
[2] Lihat
John Dirk Pasalbessy, Dampak Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
serta Solusinya, Jurnal Sasi, 2010,hlm.8.
[3]
Lihat
Hasyim Hasanah, Kekerasan terhadap Perempuan dan Dampak dalam Rumah Tangga
Perspektif Pemberitaan Media, Jurnal Sawwa,2013,hlm. 162,163.
[4]
Lihat
Mohamad Taufiq Hidayat, Citra Perempuan dalam Berita Kekerasan Seksual,
Jurnal Unnes, 2017,hlm. 149.
[6]
Lihat
Hasyim Hasanah, Kekerasan terhadap Perempuan dan Dampak dalam Rumah Tangga
Perspektif Pemberitaan Media, Jurnal Sawwa,2013,hlm. 164.
[8] Lihat
Hasyim Hasanah, Kekerasan terhadap Perempuan dan Dampak dalam Rumah Tangga
Perspektif Pemberitaan Media, Jurnal Sawwa,2013,hlm. 165.
[9] Lihat
John Dirk Pasalbessy, Dampak Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
serta Solusinya, Jurnal Sasi, 2010,hlm.11.
[12]
Lihat
Dwi Hapsari Retnaningrum , Incest sebagai Bentuk Manifestasi Kekerasan
terhadap Perempuan,Jurnal Dinamika Hukum, 2009, hlm.22.
[13] Lihat
Hasyim Hasanah, Kekerasan terhadap Perempuan dan Dampak dalam Rumah Tangga
Perspektif Pemberitaan Media, Jurnal Sawwa,2013,hlm. 166.
[14] Lihat
John Dirk Pasalbessy, Dampak Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
serta Solusinya, Jurnal Sasi, 2010,hlm.12.