HYPER-REALITY ;
SISI LAIN MASYARAKAT MAYA
Jacques
Equll mengatakan,kalau kita ingin menggambarkan zaman ini,maka gambaran yang
terbaik untuk dijelaskan mengenai suatu realitas masyarakat adalah masyarakat
dengan sistem dengan sistem teknologii yang baik atau masyarakat teknologi. Sedangkan
menurut Gaullet untuk mencapai masyarakat teknoologi maka suaatu masyarakat
harus memilki sistem teknologi yang baik. Dengan demikian maka fungsi teknologi
adalah kunci utama perubahan dimasyarakat.
Dengan
demikian,menurut Ellul dan Goulet, teknologi secara fungsional telah menguasai
masyarakat bahkan paadaa fungsi yang substansial, seperti mengatur berbagai
sitem norma dimasyarakat,umpamanyaa sistem lalu lintas dijalan rraya,sistem
komunikasi, senin pertunjukan, dan sebagainya. Dalam dunia media
informasi,sistem teknologi juga telah menguasai jalan pikiran masyarakat
seperti yang diistilahkan dengan thater of mind. Bahwa siaran-siaran
media informaasi secara tidak sengaja telah meninggalkan kesan siaran didalam
pikiran pemirsanya. Sehingga suatu saat media media informasi itu dimatikan
kesan itu selalu hidup daam pemikiran pemirsa dan membentuk panggung-panggung
realitas dalam pikiran mereka.
Jadi,seperti
apa seperti apa yang ddigambarkan dalam berbagai cara kerja media yang dapat
melihat waktu. Adalah gambaran realitas dalam dunia yang diciptaka olh
teknologi. Sehingga gambaran terhadap sebuah dunia yang lebih indah dan lebih
bermakna hanya ada dalam teknologi
informasi. Realitas itu dibangun oleh para perancang agenda setting media berdasarkan kemampuan teknologi media elektornika serta dipengaruhi oleh
lingkungan budaya,dan pandangan tentang alam sekitarnya.
Kemampuan
teknologi media elektronika memungkinkan perancang agenda setting media dapat menciptakan realitas dengan
menggunakan satu model produksi oleh Jean Baudrillard disebutnya dengan
simulasi,yaitu penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul atau realitas awal.
Halnya ini disebut sebagai (hiper-realitas). Melalui model
simulasi,manusia dijebak dalam satu ruang,yaang didasarinya sebagai
nyata,meskipun sesungguhnya semu,maya,atau khayalan belaka. Ruang realitas semu
itu merupakan antitesis dari representasi,atau seperti apa yang dikatakan oleh
Derrida, antitesis itu dapat disebut dengan dekonstruksi terhadap representasi
realitas itu sendiri.
Menurut
Pilliang, ruang realitas semu itu dapat digambarkan melalui analogi peta. Bila didalam
suatu ruang nyata sebuah peta merupakan representasi dari sebuah
teritorial,maka didalam model komunikasi, pelah yang mendahului teritorial. Realitas
sosial,kebudayaan,politik,kini dibangun berdasarkan model-model peta fantasi
yang ditawarkan media informasi. Seperti tokoh kartun Mickey Mouse dan
Doraemon. Inilah contoh gambaran model peta simulasi dalam berbagai
citra,nilai-nilai dan makna kehidupan sosial,kebudayaan,konflik politik,peperangan
yang dibangun dalam masyarakat maya.
Berdasarkan
hal tersebut diatas,wacana simulasi adalah teritorial pengetahuan yang
dikonstruksikan oleh media informasi melalui pencitraan media,dimana manusia
mendiami suatu ruang realitas yang perbedaan antara nyata dan fantasi atau yang
benar dengan yang palsu,menjadi sangat tipis. Manusia hidup dalam dunia maya
dan kayal . media informasi dan informasi mereka lebih nyata darii pengetahuan
manusia tentang sejarah mereka,,dan etika kehidupannya. Namun antara media
informasi dan pengtahuan itu sama-sama membentuk sikap,perilaku,dan peradaban
umat manusia.[1]
Dengan
demikian, keberadaan ruang maya selalu terkait dengan komunitas virtual, yaitu
mereka yang saling berinteraksi menggunakan teknologi komputer (cyberspace –
cyber community), karena melalui interaksi antar mereka ruang itu
tebentuk. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Oswald, “The critical component
of any definition of cyberspace is the element of community”
(Oswald, dalam Holmes, 2005:45). Anggota masyarakat maya tidak terikat secara
territorial atau bahkan tidak pernah bertemu muka sekalipun. Melalui sarana virtual
mereka ber-interaksi, mempertukarkan makna dan membangun realitas dunia.
Kelompok masyarakat
ini diberikan label sebagai virtual communities. “Virtual communities
are social aggregation that
emerge from the net when enough people carry on those public discussion,
with sufficient human feeling, to form webs of personal relationship
in cyberspace” jadi karakteristik
dari komunitas secara konvensional namun lebih memusatkan perhatiannya pada proses
komunikasi yang berlangsung (on going communication). Anggapan seperti
itu sejalan dengan
definisi yang diberikan oleh Hagel dan Amstrong(1997)
yang memusatkan perhatianya
pada isi dan aspek-aspek komunikasi.
Pada
ruang baru dimana penggunanya membangun interaksi hingga terbentuklah
suatu masyarakat maya (cybercommunity), maka
cyberculture atau budaya maya merujuk
pada seperangkat realitas yang hidup di dalamnya.
Dibangun melalui proses pemaknaan
bersama diantara para penggunanya. Tidak seperti
tata aturan pengoperasionalan CMC yang bersifat teknis dan berlaku universal, tata
nilai social dalam interaksi melalui CMC ini dapat terbentuk secara parsial,
dan sangat dipengaruhi oleh konteks social dan budaya dimana teknologi tersebut
digunakan. Interaksi dua arah diantara teknologi, pengguna dan konsepsi social
budaya dimana teknologi itu digunakan melahirkan karaktersitik dan keunikan
makna mengenai teknologi itu sendiri. Ketika teknologi dimaknai secara subyektif
dengan latar social budaya penggunanya, maka teknologi itu akan ter-redefinisi dan
terekonstruksi sedemikian rupa yang dapat nampak pada perlakuan pengunanya
pada perangkat tersebut. Lebih lanjut, tidak
hanya perangkat tersebut yang ter-redefinisi, namun lebih jauh pola perlakuan
dan pemaknaan atas perangkat tersebut pada saatnya akan memaknai realitas kehidupan
penggunanya.
Memahami budaya
maya (cyberculture) berarti mengabungkan antara dunia maya “cyber”
dan budaya culture. Christine Hine (2000) mengungkapkan bahwa ruang maya
sebagai suatu budaya dan menjadi artefak budaya. Pemahaman mengenai cyberspace
menuntut untuk melihat pada beberapa dimensi yang terkait di dalamnya;
sebagai material, secara simbolik dan dimensi experial.[2]
DAFTAR PUSTAKA
Bungin,Burhan.
Sosiologi Komunikasi,Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup.2006.
Prasetyo Hendri, Cyber
Community, Cyber Cultures : Arsitektur Sosial Baru Masyarakat Modern. Jurnal. 2(2):
29-38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar