Kamis, 20 Desember 2018

CITRA KEKERASAN PEREMPUAN

CITRA KEKERASAN PEREMPUAN
Pencitraan merupakan kumpulan citra (the collection of images) yang dipergunakan untuk melukiskan objek dalam karya sastra. Pencitraan erat kaitannya dengan sebuah citra karena pencitraan kumpulan dari citra tersebut. Gambaran mengenai perempuan dalam merepresentasikan kehidupannnya melalui karya prosa dan fiksi dapat berupa citra perempuan. Keberadaan gender sering kali dikaitkan dengan citra perempuan sebagai sebuah daya tarik sendiri untuk diceritakan dari banyak hal. Baik perempuan tersebut dengan sifat kodratinya maupun perempuan sebagai manusia dengan hak-haknya. Perempuan yang sadar akan nasib, cita-cita, dan haknya sebagai perempuan, menjadikan citra perempuan yang tangguh dalam memperjuangkan kesetaraannya.
Membicarakan masalah kekerasan terhadap perempuan, seakan-akan tidak ada pernah habisnya. Hampir setiap hari kita diberi sajian yang mengekspose kekerasan baik melalui media massa maupun media–media yang lainnya. Orang memukul, menganiaya, memperkosa bahkan membunuh hampir merupakan “santapan“ wajib. Bahkan berita atau tayangan yang memuat peristiwa kriminal selalu menjadi headline, seakan-akan orang sudah memandang itu suatu yang biasa terjadi.
Tindak kekerasan ini tidak hanya terjadi di luar lingkungan rumah, bahkan di dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi setiap anggota keluarga, kenyataannya bisa menjadi tempat yang menakutkan terutama bagi perempuan. Bila anggapan umum menyatakan tempat yang berbahaya adalah di luar rumah, bagi perempuan faktanya tampak tidak demikian. Perempuan justru lebih sering dilukai dan mengalami kekerasan dalam lingkup personal, baik dalam kaitan perannya sebagai istri, anak, anggota keluarga lain, pacar atau teman intim. Kekerasan terhadap perempuan, bisa
terjadi dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Kekerasan ini bisa terjadi ditengah keramaian pasar di siang hari atau di jalan yang sepi pada malam hari. Akan tetapi, sangat mengherankan, bahwa banyak kekerasan yang terjadi di rumah tangga, dan kebanyakan kekerasan tersebut dilakukan oleh seorang yang dekat dan dikenal baik oleh korban.[1]




            Tindak kekerasan tidak hanya merupakan masalah individual atau masalah nasional saja, tetapi sudah merupakan masalah global, bahkan transnasional. Karena itu di dalam masyarakat dikenal berbagai istilah, seperti “violence against women, “gender based violence”, “gender violence”, “domestic violence” yang korbannya adalah peremuan, sementara bagi anak-anak dikenal juga istilah, “working children”, “street childern”, “childern in Jhon D. Pasalbessy, armed conflict”, “urban war zones”, dan sebagainya.[2]
Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan merupakan konsep baru, namun pemaknaan mengenai batasan kekerasan terhadap perempuan dan anak nampaknya belum ada definisi tunggal dan jelas dari para ahli atau pemerhati maslah-masalah perempuan. Tindak kekerasan adalah melakukan kontrol, kekerasan dan pemaksaan meliputi tindakan seksual, psikologis, fisik dan ekonomi yang dilakukan individu terhadap individu yang lain dalam hubungan rumah tangga atau hubungan intim (karib). Kemala Candrakirana
mengemukakan kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan termasuk penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaran. Termasuk ancaman yang menghasilkan kesengsaraan bagi seseorang.[3]
Perempuan dan segala hal yang melekat baik itu dalam dirinya seperti sifat, kebiasaan, dan kepribadian maupun secara fisik atau tampilan luarnya dalam kehidupan bermasyarakat selalu menarik untuk diperbincangkan. Pembahasan mengenai perempuan menjadi menarik karena di dalam masyarakat, perempuan seringkali dibedakan, tidak hanya secara fisik secara sosialpun berbeda. Konsep gender melihat bahwasannya masyarakat mengkontruksikan sifat-sifat yang melekat pada perempuan dan laki-laki secara sosial maupun kultural, yang dapat berubah dan dipertukarkan (Astuti 2008: 3).
Pembahasan mengenai perempuan dan media sangatlah kompleks mulai dari eksploitasi akan produk, konstruksi masyarakat, bahkan tubuh perempuan itu sendiri. Media berperan sebagai agen konstruksi sosial dengan cara merepresentasikan perempuan seperti yang ada dalam berita (Hasnah, 2015:170). Citra atau representasi perempuan dalam media yang tergambar secara fisik tersebut bisa jadi termasuk kekerasan seksual. Media menggunakan tubuh perempuan sebagai konsumsi publik yang dianggap lebih menarik untuk dipertontonkan (Muashomah, 2010:144).
Media massa memiliki tanggapan tersendiri dalam memuat berita-berita tentang kekerasan seksual yang dialami perempuan, dengan berusaha membangun opini-opini publik yang nantinya dijadikan bahan dalam pemberitaan. Bangunan-bangunan opini publik tersebut nantinya akan menjadi sebuah konstruksi sosial yang melembaga dalam masyarakat. Konstruksi sosial yang terbangun biasanya memuat akan citra atau penggambaran perempuan dalam masyarakat dan tidak jarang pula dijumpai berita yang di dalamnya termuat ketidakadilan gender. Peran media massa dirasa begitu berpengaruh terhadap munculnya produk-produk konstruksi sosial dalam masyarakat, khususnya pada kasus kekerasan terhadap perempuan melalui muatan berita yang dikonsumsi oleh masyarakat secara luas, dengan begitu proses konstruksi sosial dalam masyarakat dapat terjadi secara lebih cepat dibandingkan melalui opini-opini publik yang dibangun secara tatap muka (Bungin, 2007: 203).[4]
Perempuann itu bernama Sophiia Latjuba, ketika ia berada di sebuah pabrik kain tenun sutra, kemudian ia mandi disebuah telaga asri. Dua latar ini dikreasi secara serasi oleh media sehingga terkesan begitu indah, lembut,dan mengesankan. Ituulah sisi-sisi utama dalam iklan salah satu produk sabun yang saat ini sedang dalam masa tayangg di stasiun televisi.
            Kecantikan Sophia, kelembutan kain sutra dan suasana telaga yang indah, merupakan tiga fokus yang diangkat oleh copywriter  untuk mengkonstruksi sebuah taste dan tiga kata; cantik,lembut dan indah.  Itulah  taste  yang terdapat pada produk sabun mandi yang diiklankan. Namun, taste tersebut didominasi oleh kecantikan perempuan yang bernama Sophia. Suasana kelembutan daan keindahan yang ada dalam iklan itu terasa di hidupkan oleh copywriter dengan menghadirkan sosok perempuan cantik itu.  Ini adalah sebuah contoh cerita dari kelaziman klasik orang mengagumi keindahan perempuan. [5]
            Keindahan perempuan dan kekaguman lelaki terhadap perempuan adalah cerita klasik dalam sejarah umatt manusia. Dua hal itu pula menjadi dominan dalam inspirasi banyak pekerja sen dari masa ke masa. Namun, ketika perempuan menadi simbol dalam seni-seni komersial, maka kekaguman-kekaguman terhhadap perempuan itu menjadi sangat diskriminatif, tendensius,bahkan menjadi suborinasi dari simbol-simbbol kekuuatan laki-laki. Bahkan terkadang mengesankan perempuan menjadi simbol-simbol kelas sosial yang kehadirannya dalam kelas tersebut hanya karena kerelaan yang dibutuhkan laki-laki.    
Carwoto mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan atau juga dikenal dengan kekerasan dalam rumah tangga.9 Kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga disebut juga kekerasan domestik (domestic violence). Kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga juga disebut kekerasan keluarga. Sebenarnya kedua istilah tersebut mengandung arti yang tidak sama. Dari beberapa pengertian kekerasan terhadap perempuan dan anak yang telah dikutip di atas, nampaknya pendapat Kemala Candrakirana yang paling luas karena lingkup kekerasan yang dikemukakannya mencakup kekerasan fisik, seksual, psikologis dan penelantaran, termasuk ancaman yang menghasilka kesengsaraan dan penderitaan dalam lingkup rumah tangga.
Pengertian kekerasan terhadap perempuan dan anak di samping seperti telah dikemukakan di atas, juga diatur dalam peraturan perundangundangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Di dalam KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP yang menyatakan “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, pada Pasal 1 mengenai apa yang dimaksud dengan “kekerasan terhadap perempuan” yaitu setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.[6]
Saat ini ketika karya-karya seni kreatif seperti iklan menjadi konsumsi masyarakat dalam berbagai media massa, posisi perempua ini menjadi sangat potensial untuk dikomersialkan dan di eksplooitasi, karena posisi perempuan menjadi sumber inspirasi dan juuga tambangg yang tak habis-habisnya.
            Eksploitasi perempuan dalam pencitraa media massa tidak saja karrena kerelaaan perempuan, namun juga karena kebutuhan kelas sosial itu sendiri, sehingga mau ataupun tidak kehadiran perempuan menjadi sebuah kebutuhan dalam kelas sosial tersebut. Sayangnya kehadirran perempuan dalam kelas sosial itu, masih menjadi bagian dari refleksi realitas sosial masyarakatnya,bahwa perempuan selalu menjadi subordinaat kebudayaan laki-laki. Karenanya, tetap saja perempuan di media massa adalah “perempuannya lelaki” dalam realiitas sosialnya. Namun, dalam koneks perempuan, terkadang perempuan tampil dalam bentuk yang lebbih keras dan keluar dari streotip perempuan sebagai sosok lembut dan tak berdaya. Perempuan juga sering tampil seebagai perayu, penindas,bahkan sebagai pecundang. Sosok perempuan ini banyak ditemukan dalamiklan media,sekaligus merupakan rekonstuksi terhadap dunia realitas perempuanitu sendiri.[7]
            Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan
Beberapa bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam headline news beberapa media sebagai berikut:
1.      Kekerasan fisik: memukul, menampar, mencekik dan sebagainya;
2.      Kekerasan psikologis: berteriak, menyumpah, mengancam, melecehkan dan sebagainya
3.      Kekerasan seksual, seperti: melakukan tindakan yang mengarah keajakan/desakan seksual seperti menyentuh, mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dan lain sebagainya
4.      Kekerasan finansial: mengambil barang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial dan sebagainya
5.      Kekerasan spiritual: merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban mempraktekan ritual dan keyakinan tertentu.[8]

Sering juga muncul persepsi bahwa seorang perempuan yang menjadi korban akan berpikir bahwa ia mempunyai andil terhadap suatu kejahatan, walaupun sebenarnya tidak demikian. Contohnya perkosaan, seorang perempuan korban perkosaan cenderung untuk menyimpan dukanya (psikis dan fisik), karena mungkin ia menganggap bahwa kedatangannya ke lembaga penegak hukum hanya akan menimbulkan viktimisasi ganda pada dirinya.
Berbagai tindak kekerasan yang sering terjadi dan menimbulkan korban dikalangan perempuan seperti, (a) serangan seksual; (b) kasus pembunuhan terhadap ibu atau nenek baik karena motif ekonomi maupun karena rasa marah yang tidak terkendali; (c) pornografi; (d) tindak kekerasan oleh majikan terhadap pembantu rumah tangga yang sering terjadi dan umumnya dilandasi oleh rasa jengkel bahkan benci, serta beberapa tindak kekerasan lainnya.[9]
Dalam kehidupan sosial, pada hubungan perempuan dan laki-laki, posisi perempuann selalu ditempatkan pada posisi “wengking”, “orangg belakang”, “subordinasi”, perempuan selalu yang kalah, namun sebagai “pemuas” pria, pelengkap dunia laki-laki. Hal-hal inilah yang direkonstruksi dalam media massa melalui iklan-iklan komersial, bahwa media massa hanya merekonstruksi  apa yang ada di sekitarnya, sehhinggaa media massa juga disebut sebagai refleksi dunia nyata, refleksi alam di sekitarnya.
Jadi, ketika satu regu penembak berpakaian hitam-hitam berdiri di depan seseorang “marapidana” dan siap melakuakan eksekusi (iklan Shampo Clear), ternyata nara pidana itu adalah perempuan, begitu pula ketika bintang tujuh mencitakan amnnfaat minuman Irex ( iklan irex serial lembur), maka perempuanlah yang menjadi judgment manfaat tersebut. Begitu pula hampir semua iklan susu, menggunakan perempuan sebagai judgment manfaat dari produk tersebut, termasuk juga iklan-iklan sabun,pasta gigi, dan iklan kebutuhan rumah tangga lainnya.[10]
            Keindahan perempuan menempatkan perempuan dalam streotip perempuan dan membawa mereka ke sifat-sifat di sekitar keindahan itu, seperti perempuan harus tampil menawan, pandai mengurus rumah tangga, memasak tampil prima untuk menyenangkan suami dan pantas diajak ke berbagai acara, cerdas serta sumber pengetahuan dan moral keluarga.  Streotip ini menjadi ide daan citra sekaligus sumber eksploitasi perempuan diberbagai media juga menjadi sumber protes terhadap iklann-iklan yang dianggap “ melecehkan” citra itu. Namun, pandangan lain membantah, bahwa ekspoitasi perempuan dalam media iklan, tidak sekedar karena streotip diatas, akan tetapi disebabkan umumnnya pemirsa iklan adalah perempuan, dan barang-barang yang  diiklankan adalahh perempuan atau yang berhubungan dengan perempuan. Perempuan sesungguhnyaa paling dekat dengan media massa, jadi tidak saja streotip , namun segmen perempuan juga menjadikan alasan kuat mengeksploitasi perempuan dalam media massa.
            Dalam banyak iklan yang didapatkan di mediaa massa,  streotip perempuan juga digambarkan secara bebas, yang mana ia bisa menjadi penindas ( iklan sabun Omo serial si putih dan si merah ).  Perempuan juga harus tampil cantik secara fisik  dan tetap awet muda  bila ingin sukses, mampu mengurus  semua keperluan rumah tangga dan anggota keluarga,dan sebagai objek seks.  Iklan juga menghidupkan streotip tentang perempuan,  bahwa sejauh-jauhnya peempuan pergi, akhirnya kembali juga di dapur. Kemudian iklan juga menghidupkan selera lama kepada perempuanberambut panjang. Seperti umumnya iklan shampo menggunakan bintang  iklan berambut panjang dan lurus untuk menumbuhkan rasa ketertarikan kepada produk tersebut.
            Sesuatu yang kembali ke streotip perempuan,bahwa apa yang perempuan lakukan dalam iklan-iklann itu hanyalah untuk mennyenangkan orang lain,terutama laki-laki, sedangkan ia sendiri adalahh bagian dari upaya menyenangkan bukan menikmati rasa senangnya, dan tanpa sadar kalau ia merasa senang dirinya dieksploitasi.
            Perempuan juga digambarkan  dalam iklan sebagai kelompok pinggiran,umumnya kehadiran perempuan dalam banyak iklan hanya sebagai pelengkap dan sumber legitimasi terhadap realitas yangg diuungkapkan, seperti iklan Eextra Joss ( serial dipengeboran minyak), peran utama iklan laki-laki adalah lelaki;gagah, kuat, perkasa, dan tampan, sedangkan perempuan hanya tokoh yang hadir untuk mengagumi sifat-sifat itu.       
            Iklan juga umumnya menempatkan perempuan sebagai pemuas seks laki-laki, iklan permen Pindy Mint “ Dingin-dingin Eempuk” iklan Torabika “ Pas susunya”, ikaln Sidomuncul “Puass rasanya”,dan lainnya. Sebagaimana diketahui, seks dalam masyarakat, selalu  digambarkan sebagai kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Dalam masyarakat patriarchal, seks merupakan bagian yang dominan dalam  hubungan laki-laki dan perempuan, serta menempatkan perempuan sebagai subordinasi.[11]


Semua bentuk kekerasan, siapapun pelaku dan korbannya dapat dikelompokkan dalam penggolongan besar:
a.       Kekerasan dalam area domestik/hubungan intim-personal: berbagai bentuk kekerasan yang pelaku dan korbannya memiliki hubungan keluarga/hubungan kedekatan lain. Termasuk disini penganiayaan terhadap istri, penganiayaan terhadap pacar,bekas istri, tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan terhadap orangtua, serangan seksual atau perkosaan oleh anggota keluarga.
b.       Kekerasan dalam area publik: berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di luar hubungan keluarga atau hubungan personal lain.
c.        Kekerasan yang dilakukan oleh/dalam lingkup Negara: kekerasan secara fisik, seksual dan/atau psikologis yang dilakukan, dibenarkan, atau didiamkan/dibiarkan terjadi oleh negara.
Bila melihat pada bentuk kekerasan seperti tersebut diatas maka incest termasuk dalam bentuk kekerasan dalam area domestik. Tercakup dalam bagian ini, berbagai bentuk kekerasan dan abuse seksual, termasuk incest. Kekerasan dan abuse seksual pada masa kanak sering tidak teridentifikasi, dan karena anak belum dapat memahami dengan sepenuhnya apa yang terjadi pada dirinya. Beberapa hal yang dapat terjadi adalah: anak mengembangkan pola adaptasi dan keyakinan-keyakinan yang keliru sesuai dengan sosialisasi yang diterimanya, betrayel (merasa dikhianati), stigmatisasi, sexual traumatization (trauma seksual).[12]

Faktor-faktor Penyebab Kekerasan terhadap Perempuan Perspektif Media Massa
Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi tanpa membedakan latar belakang ekonomi, pendidikan, pekerjaan, etnis, usia, lama perkawinan, atau bentuk fisik korban. Kekerasan adalah sebuah fenomena lintas sektoral dan tidak berdiri sendiri atau terjadi begitu saja. Secara prinsif ada akibat tentu ada penyebabnya. Dalam kaitan itu Fathul Djannah mengemukakan beberapa faktornya yaitu:
1.      Kemandirian ekonomi perempuan. Secara umum ketergantungan perempuan terhadap laki-laki dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian karena kemandirian perempuan juga dapat menyebabkan perempuan menerima kekerasan oleh laki-laki;
2.      Karena pekerjaan perempuan. Perempuan bekerja di luar rumah dapat menyebabkan perempuan menjadi korban kekerasan;
3.      Perselingkuhan laki-laki. Perselingkuhan laki-laki dengan perempuan lain atau laki-laki kawin lagi dapat melakukan kekerasan terhadap perempuan;
4.       Campur tangan pihak ketiga. Campur tangan anggota keluarga dari pihak laki-laki, terutama ibu mertua dapat menyebabkan laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan;
5.      Pemahaman yang salah terhadap ajaran agama. Pemahaman ajaran agama yang salah dapat menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
6.      Karena kebiasaan laki-laki, di mana laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.[13]

Solusi Pemecahannya
Tampaknya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah interdispliner, baik politis, sosial, budaya, ekonomis maupun aspek lainnya. Diakui bahwa tindak kekerasan akan banyak terjadi, di mana ada kesengjangan ekonomis antara laki-laki dan perempuan, penyelesaian konflik dengan kekerasan, dominasi laki-laki dan ekonomi keluarga serta pengambilan keputusan yang berbasis pada laki-laki. Sebaliknya, jika perempuan memiliki kekuasaan diluar rumah, maka intervensi masyarakat secara aktif disamping perlindungan dan kontrol sosial yang kuat memungkinan perempuan dan anak menjadi korban kekerasan semakin kecil.
Dari berbagai pengalaman selama ini, maka solusi terhadap penanggulangan tindak kekerasan terhadap perempuan mesti mencakup hal-hal sebagai berikut :
1.      Meningkatkan kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya di dalam hukum melalui latihan dan penyuluhan (legal training).
2.      Meningkatkan kesadaran masyarakat betapa pentingnya usaha untuk mengatasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan ana, baik di dalam konteks individual, sosial maupun institusional;
3.      Meningkatkan kesadaran penegak hukum agar bertindak cepat dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan maupun anak;
4.       Bantuan dan konseling terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dan anak;
5.      Melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilakukan secara sistematis dan didukung oleh karingan yang mantap.
6.      Pembaharuan hukum teristimewa perlindungan korban tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak serta kelompok yang rentang atas pelanggaran HAM.
7.      Pembaharuan sistem pelayanan kesehatan yang kondusif guna menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak;
8.      Bagi anak-anak diperlukan perlindungan baik sosial, ekonomi mauoun hukum bukan saja dari orang tua, tetapi semua pihak, termasuk masyarakat dan negara.
9.      Membentuk lembaga penyantum korban tindak kekerasan dengan target khusus kaum perempuan dan anak untuk diberikan secara cuma-cuma dalam bentuk konsultasi, perawatan medis maupun psikologis
10.  Meminta media massa (cetak dan elektronik) untuk lebih memperhatikan masalah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam pemberitaannya, termasuk memberi pendidikan pada publik tentang hak-hak asasi perempuan dan anak-anak. [14]



DAFTAR PUSTAKA

Bungin,Burhan. Sosiologi Komunikasi,Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.2006.
Hasanah Hasyim, Kekuasaan terhadap Perempuan dan Anak dalam Rumah Tangga Perspektif Pemberitaan Media, Jurnal Sawwa, 9(1) : 159-178
Hidayat Mohammad Taufiq,Iswari Rini,Akhiroh Sholikhah Ninuk., Citrra Perempuan dalam Berita Kekerasan Seksual, Jurnal Unnes, 6(2) : 148-155
Pasalbessy Drik John, Dampak Ttindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak serta Solusinya, Jurnal Sasi, 16(3) : 8-13
Retnaningrum Hapsari Dwi, Incest sebagai Bentuk Manifestasi Kekerasan terhadap Perempuan, Jurnal Dinamika Hukum, 9(1) : 19-29








[1] Lihat Dwi Hapsari Retnaningrum , Incest sebagai Bentuk Manifestasi Kekerasan terhadap Perempuan,Jurnal Dinamika Hukum, 2009, hlm.2.
[2] Lihat John Dirk Pasalbessy, Dampak Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak serta Solusinya, Jurnal Sasi, 2010,hlm.8.
[3] Lihat Hasyim Hasanah, Kekerasan terhadap Perempuan dan Dampak dalam Rumah Tangga Perspektif Pemberitaan Media, Jurnal Sawwa,2013,hlm. 162,163.
[4] Lihat Mohamad Taufiq Hidayat, Citra Perempuan dalam Berita Kekerasan Seksual, Jurnal Unnes, 2017,hlm. 149.
[5] Lihat Burhan Bungin,Sosiologi komunikasi,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2006,hlm.354,355.


[6] Lihat Hasyim Hasanah, Kekerasan terhadap Perempuan dan Dampak dalam Rumah Tangga Perspektif Pemberitaan Media, Jurnal Sawwa,2013,hlm. 164.

[7] Lihat Burhan Bungin,Sosiologi komunikasi,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2006,hlm.355.
[8] Lihat Hasyim Hasanah, Kekerasan terhadap Perempuan dan Dampak dalam Rumah Tangga Perspektif Pemberitaan Media, Jurnal Sawwa,2013,hlm. 165.
[9] Lihat John Dirk Pasalbessy, Dampak Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak serta Solusinya, Jurnal Sasi, 2010,hlm.11.
[10] Lihat Burhan Bungin,Sosiologi komunikasi,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2006,hlm.356.
[11] Lihat Burhan Bungin,Sosiologi komunikasi,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2006,hlm.356,357.
[12] Lihat Dwi Hapsari Retnaningrum , Incest sebagai Bentuk Manifestasi Kekerasan terhadap Perempuan,Jurnal Dinamika Hukum, 2009, hlm.22.

[13] Lihat Hasyim Hasanah, Kekerasan terhadap Perempuan dan Dampak dalam Rumah Tangga Perspektif Pemberitaan Media, Jurnal Sawwa,2013,hlm. 166.

[14] Lihat John Dirk Pasalbessy, Dampak Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak serta Solusinya, Jurnal Sasi, 2010,hlm.12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CITRA KEKERASAN PEREMPUAN

CITRA KEKERASAN PEREMPUAN Pencitraan merupakan kumpulan citra ( the collection of images ) yang dipergunakan untuk melukiskan objek dalam...