Kamis, 20 Desember 2018

PELECEHAN SEKSUAL DAN PORNOGRAFI

PELECEHAN SEKSUAL DAN PORNOGRAFI
A.     Berawal dari wacana seks
Masalah tubuh perempuan sebagai objek porno, sebenarnya telah lama menjadi polemik dihampir semua masyarakat disebabkan kaarena adanya dua kuutup dalam menilai tubuh manusia (teutama perempuan) sebagai objek seks. Pertama : kelompok yang memuja-muja tubuh sebagai objek seks serta merupakan sumber kebahagiaan,kesenangan,keintiman,status sosial, dan seni. Kemlompok ini memuliakan seks sebagai karunia Tuhan kepada manusia. Seks juga dipandang sebagai sumber ketenangan batin, sumber inspirasi,bahkan salah satu tujuan akhir perjuangan manusia. Kedua: kelompok yang menuduh seks sebagai objek maupun subjek dari sumber malapetaka bagi kaum perempuann itu sendiri. Kelompok inni diwakili pula oleh dua aliran pemikiran :
1.      Kelompok yang mewakili pemikiran feminis radikal,yang menganggap jenis kelamin sebagai sumber persoalan seksisme (diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin) dan ideologi patriarki. Pemikiran ini menuduh laki-laki secara biologis maupun politis menguasai tubuh perempuan, laki-laki memiliki “fisik yang lebih kuat” untuk memperlakukan perempuan sebagai  objek seks mereka. Laki-laki juga secara politis telah menciptakan ideologi patriarki sebagai dasar penindasan yang merupakan sistema kirarki seksusal dimana laki-laki memilki kekuasaan superior dan privillage  terhadap perempuan.
2.      Kelompok yang menamakan diri mereka sebagai feminis marxis melihat bahwa ideologi kapitalis adalah sumber penguasaan seks terhadap perempuan. Jatuhnya  status seks perempuan disebabkan karena perubahan dalam sistem kekayaan. Era private property, yaitu era hewan piraan dan pertanian sebagai masa awal penciptaan suplius yang kemudian menjadi awal perdagangan dan produksi untuk perdagangan. Karena laki-laki mengontrol produksi untuk perdagangan maka, mereka menguasai hubungan sosial dan politik sedangkan perempuan direduksi sebagai bagian dari property, dengan demikian laki-laki meemilki kontrol terhadap seks atas perempuan sebagai bagian dari kekuasaan sosial laki-laki.[1]
Pemikiran-pemikiran diatas mendasari semua argumentasi dan polemik tentang seks sebagai objek porno dimasyarakat baik sebagai alasan memuja-muja seks maupun alasan pennguasaan objek seks. Walaupun cara mereka terletak pada cara mereka mengeksplotasi seks, akan tetapi target eksploitasi tetap saja seks sebagai objek. Dengan demikian dari masa ke masa,masyarakat terus berpolemik tentang seks diantara dua kutup itu.[2]
Meyer dkk. (1987) menyatakan secara umum ada tiga aspek penting dalam mendefinisikan pelecehan seksual yaitu aspek perilaku (apakah hal itu merupakan proposisi seksual), aspek situasional (apakah ada perbedaan di mana atau kapan perilaku tersebut muncul) dan aspek legalitas (dalam keadaan bagaimana perilaku tersebut dinyatakan ilegal).
Berdasarkan aspek perilaku, Farley (1978) mendefinisikan pelecehan seksual sebagai rayuan seksual yang tidak dikehendaki penerimanya, di mana rayuan tersebut muncul dalam beragam bentuk baik yang halus, kasar, terbuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah.
Bentuk umum dari pelecehan seksual adalah verbal dan godaan secara fisik (Zastrow dan Ashman, 1989; Kremer dan Marks, 1992), di mana pelecehan secara verbal lebih banyak daripada secara fisik. Para ahli tersebut menyebutkan pelecehan seksual dalam bentuk verbal adalah bujukan seksual yang tidak diharapkan, gurauan atau pesan seksual yang terus menerus, mengajak kencan terus menerus walaupun telah ditolak, pesan yang menghina atau merendahkan, komentar yang sugestif atau cabul, ungkapan sexist mengenai pakaian, tubuh, pakaian atau aktivitas seksual perempuan, permintaan pelayanan seksual yang dinyatakan dengan ancaman tidak langsung maupun terbuka.
Pelecehan seksual dalam bentuk godaan fisik di antaranya adalah tatapan yang sugestif terhadap bagian-bagian tubuh (menatap payudara, pinggul atau bagian tubuh yang lain), lirikan yang menggoda dan mengejap-ngejapkan mata, rabaan; mencakup cubitan, remasan, menggelitik, mendekap, dan mencium, gangguan seksual seperti rabaan atau ciuman yang terjadi karena situasi yang sangat mendukung misalnya di lift, koridor dan ruang lain yang sepi setelah jam kerja, tawaran kencan dengan imbalan promosi atau[3] memojokkan perempuan untuk dicium, proposisi seksual, tekanan yang halus untuk aktivitas seksual, usaha perkosaan dan perkosaan itu sendiri.
Dipandang dari aspek situasional, pelecehan seksual dapat dilakukan dimana saja dan dengan kondisi tertentu. Perempuan korban pelecehan seksual dapat berasal dari setiap ras, umur, karakteristik, status perkawinan, kelas sosial, pendidikan, pekerjaan, tempat kerja, dan pendapatan (Hadjifotiou, 1983; Higgins dan Hawkins, 1986).
Hasil survei pekerja federal pada 20.083 orang dengan berbagai karakteristik (jenis kelamin,penghasilan, tingkat pendidikan dll.) menunjukkan hasil bahwa perempuan lajang dan bercerai lebih banyak menjadi korban daripada perempuan yang sudah menikah, insiden yang menimpa janda lebih kecil daripada perempuan yang sudah menikah namun hal ini lebih berkaitan dengan faktor umur.
Dari segi organisasi, trainee perempuan paling besar persentasenya mengalami pelecehan seksual, namun tidak ada hubungannya dengan kategori pekerjaan, tidak ada hubungan yang jelas antara tingkat penghasilan dan insiden pelecehan seksual, ada hubungan yang positif antara tingkat pendidikan dengan insiden pelecehan seksual, ada hubungan yang positif antara tingkat penghasilan dan insiden pelecehan seksual, ada hubungan yang positif antara tingkat pendidikan dengan insiden pelecehan seksual dan terdapat korelasi yang sangat kuat antara tingkat usia dan ketergantungan terhadap kerja dengan tingkat dan frekuensi pelecehan seksual di mana semakin muda semakin tergantung pada pekerjaannya, frekuensi pelecehan seksualnyapun semakin tinggi. Perempuan yang mendobrak ke dalam pekerjaan yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki juga akan lebih sering mengalami pelecehan seksual daripada perempuan lain (Tangri, Burt dan Johnson, 1982).
Gutek dan Dunwoody (1987) menyatakan bahwa aktivitas seksual yang dipandang sebagai suatu bagian dalam persyaratan kerja (seperti penting untuk memperoleh dan mempertahankan pekerjaan, atau untuk memperoleh promosi) didefinisikan sebagai pelecehan seksual oleh 81 persen hingga 98 persen pekerja dewasa dan responden mahasiswa. Kedua ahli ini juga menunjukkan beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap situasi yang dinilai sebagai pelecehan seksual yaitu: perilaku yang terlibat, hubungan di antara dua orang yang terlibat, usia, jenis kelamin rater dan jenis pekerjaan.[4]
1.        Perilaku yang terlibat. Perilaku seksual yang eksplisit dan perilaku yang melibatkan ancaman atau peringatan jauh dipandang lebih mendekati konsep pelecehan seksual daripada perilaku yang lain. Pryor dan Day (1988) menyebutkan orang akan lebih menilai rayuan seksual terhadap perempuan sebagai pelecehan seksual, bila perilaku tersebut diatribusikan kepada laki-laki yang melakukan intensi negatif (refleksi rasa permusuhan atau ketidakpekaan terhadap perasaan perempuan) terhadap perempuan secara terus menerus.
2.         Hubungan di antara orang yang terlibat. Situasi yang lebih dipersepsi sebagai pelecehan seksual bila pelaku pelecehan tersebut adalah atasan korban daripada bila pelaku adalah teman sekerja ataupun bawahan korban, atau bila korban sudah berusaha untuk menghindar dari pelaku pelecehan daripada bila kedua orang tersebut (korban dan pelaku) memang sering berkencan. Insiden ini juga dipersepsi sebagai pelecehan seksual bila pelaku pelecehan adalah laki-laki (Gutek dan Morash, 1983), dan perempuan adalah korbannya (Gutek, Morasch dan Cohen, 1983).
3.        Usia. Usia korban perempuan masih muda. Hasil riset menunjukkan bahwa perempuan muda dan belum/tidak menikah secara khusus mudah terserang pelecehan seksual walaupun perempuan dari segala usia, suku, pekerjaan, tingkat penghasilan dan status perkawinan pernah mengalami pelecehan seksual. Kecenderungan pelecehan seksual pada perempuan di bawah 20 tahun dua kali lipat dibandingkan mereka yang berusia 20 – 40 tahun (Zastrow dan Ashman, 1989).
4.        Jenis kelamin rater. Rater perempuan memberikan batasan yang lebih luas tentang perilaku seksual di tempat kerja yang tergolong pelecehan seksual, sedangkan laki-laki cenderung untuk merating perilaku seksual yang ekstrem sebagai pelecehan seksual.
5.         Jenis pekerjaan. Manajer tingkat tinggi cenderung merating insiden tersebut kurang serius dibandingkan manajer menengah atau bawah, dan persepsi fakultas cenderung lebih longgar dalam memandang perilaku pelecehan seksual daripada mahasiswanya. Sejalan dengan pendapat ini, Pryor dan Day (1988) menemukan bahwa perilaku sosial seksual yang tertuju kepada mahasiswa dipandang lebih tidak diharapkan dan lebih menganggu daripada perilaku yang sama dari mahasiswa tertuju kepada mahasiswi.[5]
Menurut Rahardjo (2008) bentuuk-bentuk perilaku seksual bebas yang biasa dilakukan ialah :
1.      Kissing, atau perilaku berciuman,mulai dari ciuman ringan sampai deep kissing
2.      Necking, atau perilaku mencium daerah sekitar leher pasangan
3.      Petting, atau segalaa bentuk kontak fisik seksual berat tapi tidak termasuk intercourse, baik itu light petting (meraba payudara dan alat kelamin pasangan atau hard petting (menggosokkan alat kelamin sendiri ke alat kelamin pasangan,baik dengan berbusana atau tanpa busana)
4.      Intercourse, atau penetrasi alat kelamin pria ke alat kelamin wanita.

Pelaku pelecehan seksual dalam organisasi mayoritas berada dalam posisi sejajar atau lebih tinggi daripada perempuan yang mengalami pelecehan seperti penyelia atau bos laki-laki yang memiliki kekuasaan ekonomi atas dirinya dan sebagian besar sudah menikah. Wise dan Stanley (1987) menyebutkan tiga ciri-ciri lelaki pelaku pelecehan  seksual yaitu :
1.      Tidak memiliki ketrampilan sosial dan mengalami kebingungan sosial
2.      Adalah orang yang bermasalah, yang minum-minuman keras terlalu banyak, dan terlalu dekat dengan ibunya
3.      Umumnya adalah orang yang nervous dan kekanak-kanakan.
Disamping karakteristik pelaku, tempat terjadinya pelecehan seksual pun mempunyai karakteristik yang mendukung. Organisasi kerja di mana pelecehan seksual akan lebih banyak terjadi adalah organisasi kerja yang mempunyai ciri :
1.      Mempunyai struktur dan stratifikasi yang tinggi
2.      Hampir tidak mempunyai perhatian untuk perbaikan terhadap urusan yang berhubungan dengan pekerjaan
3.      Mempunyai pilihan atau persyaratan untuk berlibur atau kerja lembur
4.      Mempunyai rasio jenis kelamin yang tidak seimbang
5.      Mempunyai pengharapan akan “perilaku yang seksi” di tempat kerja
6.      Memiliki iklim organisasional yang dikarakterisasikan dengan masalah peran,
7.      Memiliki kelompok kerja yang besar atau kantor yang semi privat
8.      Pimpinan tidak ketat dalam memberi sanksi bagi pelaku pelecehan (Gutek dan Dunwoody, 1987; Offerman & Malamut, 2002). [6]
Sehubungan dengan kondisi yang mendukung terjadinya pelecehan seksual, MacKinnon (1979) memilahkan dua bentuk pelecehan seksual yaitu tipe quid pro quo dan kondisi pekerjaan. Tipe quid pro quo didefinisikan berdasarkan banyak atau sedikitnya pertukaran yang eksplisit: perempuan harus menerima secara seksual atau kehilangan keuntungan pekerjaan. Sementara tipe kondisi pekerjaan merupakan pelecehan seksual yang efektif (untuk dilakukan) karena status pekerja perempuan berada dalam keadaan tertekan, mereka membutuhkan uang dan terintimidasi melalui dunia pekerjaannya.
Tong (1984) menyebutkan dua tipe pelecehan seksual yaitu pelecehan seksual tipe koersif dan pelecehan seksual tipe non koersif. Pelecehan seksual tipe koersif mencakup perilaku seksual yang tidak senonoh, yang menawarkan keuntungan atau ganjaran terhadap subjek yang dituju, dan/atau perilaku seksual yang tidak senonoh, yang memberikan ancaman kerugian bagi subjek yang dituju. Pelecehan seksual tipe non koersif merupakan perilaku-perilaku seksual yang tidak senonoh yang hanya menjengkelkan atau menyakitkan hati orang-orang yang dituju. Faktor yang membedakan kedua tipe pelecehan di atas adalah tujuan utama pelaku pelecehan, dimana pada tipe ke dua adalah bukan untuk menjadikan perempuan memberikan pelayanan seksual, melainkan hanya untuk menjengkelkan atau menyakitkan hati subjek yang dituju.[7]
Ada berbagai penyebab munculnya perilaku pelecehan seksual. Di antaranya adalah dominasi laki-laki pada sistem manajemen, dominasi kekuatan laki-laki terhadap perempuan, pengaruh media massa dan ideologi, adanya standar ganda dalam  sistem sosial masyarakat, perempuan yang tidak asertif, dan struktur kerjaan yang lebih mengutamakan kaum laki-laki (Jawa Pos, 26 April 1993).
Tangri, Burt dan Johnson (1982) mengemukakan model sosio-kultural mengenai pelecehan seksual. Menurut model ini, pelecehan seksual merupakan manifestasi dari besarnya sistem patriarkal di mana laki-laki merupakan pengatur kepercayaan sosial. Model ini menyatakan, dominasi laki-laki diperlukan oleh pola budaya yang mengatur
Interaksi laki-laki-perempuan sebaik peraturan ekonomi dan politik. Masyarakat mengganjar laki-laki untuk berperilaku agresif dan mendominasi secara seksual (maskulin) dan perempuan untuk kepasifan dan penerimaan (feminin). Anggota setiap jenis kelamin disosialisasikan untuk memainkan perannya. Perempuan dilatih untuk menjadi menarik secara seksual, untuk menjadi fasilitator sosial dan menghindari konflik, untuk tidak mempercayai penilaian mereka sendiri terhadap apa yang terjadi pada diri mereka, dan merasa bertanggung jawab terhadap pengorbanan diri mereka,  menyebabkan mereka mudah terserang pelecehan seksual.
Dapat disimpulan bahwa pelecehan seksual seringkali terjadi ketidaksadaran kolektif laki-laki sebagai akibat dari akar struktur gender yang telah tertanam dengan mendalam di kalangan masyarakat yang sebenarnya tidak adil. Hal ini juga terjadi di Indonesia, di mana sejak kecil perempuan dibiasakan bersifat feminin dan laki-laki bersifat maskulin (Nuryoto, 1992).
Sabaroedin (dalam Media Indonesia, 18 September 1991) menyatakan pelecehan seksual terjadi akibat pengkondisian sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat patriarki, kekuasaan berada di tangan mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Perempuan otomatis dipandang sebagai subordinat yang boleh diremehkan. Standar peran jenis tersebut menimbulkan stereotip gender yang melibatkan pengharapan bagaimana seseorang harus berperilaku sesuai peran jenisnya (Zastrow dan Ashman, 1989). Stereotip jenis kelamin tersebut ada di mana-mana. Survei William dkk. (dalam Brigham, 1991) pada 25 negara di dunia menunjukkan derajat yang patut diperhitungkan pada cross cultural agreement dimana traits yang ditampakkan orang dewasa dan anak-anak sangat khas laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut lagi, Brigham (1991) dan Master dkk. (1992) menyatakan bahwa secara tradisional wantia dipandang secara alamiah penuh kasih sayang, halus, penuh perhatian dan peka (feminin) sedangkan laki-laki sebagai pemberani, agresif, petualang dan mandiri (maskulin).
Stereotip jenis kelamin yang muncul saat ini tentang laki-laki adalah agresif, mandiri, percaya diri, ambisius, tidak sensitif, kaku, kuat, penuh rasa ingin tahu,  kompetitif, objektif, dominan, rasionalitas, ketidaksetiaan dan kasar. Pada umumnya perempuan dipandang tergantung, patuh, intuitif, sopan, emosional, sensitif, cerewet, sabar, irasional, kesetiaan, mengalah, pemalu, lemah lembut, submisif, pasif, penerima inisiatif laki-laki dan ekspresif (MacKinnon, 1979; Suryakusuma, 1991; Master dkk., 1992). Meskipun setiap stereotip tersebut berisi aspek-aspek negatif dan positif, secara umum karakter laki-laki (maskulinitas) mewakili kekuatan dan dominasi, sedangkan  karakter perempuan (feminitas) mewakili lemah dan patuh.[8]
Dengan masuknya perempuan ke dalam angkatan kerja, pengaruh peran jenis dalam organisasi terwujud. Setiap individu memiliki banyak peran baik di dalam maupun di luar organisasi (Katz dan Kahn dalam Popovich dan Licata, 1987). Organisasi sebagai sistem peran dan memberikan batasan peran sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan oleh anggota lain dalam suatu organisasi terhadap seseorang, dan dilakukan oleh orang tersebut. Kompleksitas masalah muncul ketika seseorang memiliki peran kerja yang berganda karena konteks kerja seringkali dipengaruhi peran jenis (Gutek dkk., 1982; 1983; Baron dan Byrne, 1991).
Dibawanya peran jenis ke dalam peran kerja dapat terjadi karena beberapa alasan
yang berhubungan (Gutek dan Morasch ,1982; Greene, 1982; Gutek dan Dunwoody, 1985). Alasan tersebut antara lain adalah:
1.      Identitas gender (laki-laki/perempuan) lebih dipandang sebagai kategori koginitif, dibanding peran kerjanya dan merupakan karakteristik yang paling mendasar dalam kehidupan sosial
2.      Perempuan mungkin merasa lebih nyaman dengan stereotipi peran perempuan dalam beberapa keadaan, terutama bila mereka merasa bahwa kaum laki-laki di tempat kerja hanya akan  menerima dalam peran jenisnya. Pandangan seperti inilah yang sebenarnya tidak menguntungkan perempuan sendiri
3.      Sebagian besar perempuan berada dalam pekerjaan-pekerjaan tidak berupah (rumah tangga) sehingga sebagian besar interaksi laki-laki dan perempuan terjadi di luar kerja. Di sana laki-laki berinteraksi dengan perempuan sebagai anak, kekasih, istri, dan orangtua. Laki-laki merasa lebih enak bila    kembali dalam hubungan peran yang lebih kekeluargaan di tempat kerja. Konsekuensinya, perempuan diperlakukan pada posisi yang lebih rendah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulan bahwa pola peran jenis laki-laki yang agresif dan aktif (maskulin) dan pola peran jenis perempuan yang pasif (feminin) dialihkan ke dalam harapan dan peran dalam tempat kerja dan menimbulkan permasalahan yang kompleks.[9]



Menurut Glass (1988), dalam analisis hasil penelitiannya mengenai pelecehan seksual di tempat kerja, selama ini peran jenis laki-laki dan perempuan didefinisikan dan disosialisasikan secara demikian berbeda dan monopoli kekuasaan sosial atas kaum laki-laki masih berkembang. Di saat perempuan mulai memasuki lapangan kerja, wujud dominasi kekuasaan laki-laki bergeser pada bentuk yang nyata karena laki-laki memandang pekerjaan mereka sebagai sumber ekonominya terancam. Wujud nyata dominasi itu berupa pelecehan seksual pada perempuan (Shreve dan Lone, 1986).
Beberapa ahli (Gutek dan Morash, 1982; Shreve dan Lone, 1986) menyebutkan
bahwa pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja dilandasi oleh penemuannya pada peran jenisnya, dalam keadaan di mana peran kerjanya bukan merupakan fokus yang tepat, akibatnya perempuan akan menjadi objek pelecehan seksual di saat ia menginginkan agar peran kerjanya dihargai bukan peran jenisnya. Jadi perempuan mengalami pelecehan seksual dari laki-laki karena mereka perempuan meskipun perempuan tersebut berada dalam perannya sebagai pekerja.[10]

B.     Pergeseran Konsep Pornografi
Pada awalnya ketika masyarakat belum terbuka seperti sekaranng ini,begitu  pula media massa dan teknologi komunikasi belum berkembang seperti saat ini,semua bentuk pencabulan atau tindakan-tindakan yang jorok dengan menonjolkan objek seks disebut dengan kata porno. Kemudian ketika ide-ide porno itu sudah dapat dilukis atau diukir pada lembaran-lembaran kertas atau kanvas dan terutama ketikaa penemuan mesin cetak di abad ke-14 sehingga masyarakat telah dapat memproduksi hasil-hasil cetakan termasuk gambar-gambar porno, maka istilah pornografi menjadi sering digunakan untuk menandai gambar-gambar porno pada saat itu sampai saat ini.[11]
Saat ini ketika masyarakat sudah terbuka,kemajuan teknologi komunikasi terus berkembang, maka konsep pornografi juga telah bergeser dan berkembang. Karena itu,secara garis besar,dalam wacana porno atau penggambaran tindakan pencabulan (pornografi) kontemporer,  ada beberapa varian pemahaman porno yang dapat dikonseptualisasiakan,seperti pornografi,pornoteks,pornosuara,pornoaksi. Dalam kasus tertentu semua kategori konseptual itu dapat menjadi sajian dalam satu media,sehingga melahirkan konsep baru yang dinamakan pornoomedia.
1.      Pornografi
Menurut bahasa pornografi berasal dari bahasa Yunani porne yang berarti perempuan jalan dan grafein yang berarti menulis. Dari pengertian ini menunjukkan bahwa objek utama dan sumber pornografi adalah perempuan. Porno juga bermakna cabul, pornografi berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi.
Secara terminologi terdapat beberapa pengertian yang dikemukakan para ahli dan dirumuskan dalam UU Pornografi(UU RI N0.44 Thn.2008).  Pornografi didefinisikan oleh Ernst dan Seagle sebagai berikut: “Pornography is any matter or thing exhibiting or visually repseresenting persons or animals performing the sexual act, whether normal or abnormal. (Pornografi adalah berbagai bentuk atau sesuatu yang secara visual menghadirkan manusia atau hewan yang melakukan tindakan sexual, baik secara normal ataupun abnormal).
Oleh karena itu istilah pornografi mengandung pengertian hal-hal yang bersifat sexual. Peter Webb sebagai dikutip Rizal Mustansyir melengkapi definisi pornografi dengan menambahkan bahwa ponografi itu terkait dengan obscenity (kecabulan) lebih daripada sekedar erotis. Kemudian dalam perkembangan terbaru pornografi dipahami dalam tiga pengertian :
a.       Kecabulan yang merendahkan derajat kaum wanita.
b.      Merosotnya kualitas kehidupan yang erotis dalam gambar-gambar yang jorok,  kosakata yang kasar, dan humor yang vulgar.
c.       Mengacu pada tingkah laku yang merusak yang terkait dengan mental manusia.
Pengertian yang ketiga sesungguhnya sudah terkait dengan pornoaksi, karena terkait dengan tindakan yang mengarah pada hal-hal yang merusak melalui aktivitas seksual, baik secara kontak person yang bersifat liar (perbedaan antar jenis, sesama jenis) maupun melalui penyelenggaraan badaniah. Kontak seksual yang bersifat liar dalam hal ini berarti tanpa melalui prosedur yang lazim (pernikahan), atau dalam bahasa agama lebih dikenal dengan istilah zina. [12]
Sedangkan menurut Undang-Undang RI No.44 Tahun 2008 tentang pornografi, didefinisikan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.11Hemat penulis pengertian terakhir ini lebih kompleks karena mengakomodir beberapa defenisi yang ada. Selanjutnya dalam perspektif Islam, segala sesuatu yang mengarah pada zina adalah dilarang. Oleh karena itu, secara alamiah, manusia dengan hal-hal yang porno sangat potensial mengarah pada zina. Firman Allah swt. dalam Alquran surah al-Isra’/ 17; 32 :



Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

Pornografi dan Pornoaksi barangkali setua sejarah peradaban umat manusia di bumi, akan tetapi literatur yang mendukung pandangan semacam itu sulit ditemukan, paling tidak hanya sebatas mitos dan legenda yang menggambarkan fenomena pornografi dalam kehidupan nenek moyang kita sejak Nabi Adam dan Hawa.Kita tidak tahu secara tepat mengenai asal usul dan bentuk yang paling awal dari pornografi.
Pornografi di Indonesia bukanlah merupakan fenomena baru. Pornografi di Indonesia boleh jadi seiring dengan perkembangan pornografi di dunia pada umumnya. Ibarat tanaman rumput, walaupun sering diinjak, dicabuti, bahkan dibabat, pornografi tetap tumbuh dengan subur. Menurut catatan Lembaga Pers dan Pendapat Umum di Jakarta (sekarang sudah tidak ada), pada tahun 1953 tercatat adanya buku-buku dan bacaan cabul berisikan perempuan Barat yang telanjang masuk ke Indonesia dengan bebas. Sejak itu pula pemerintah berusaha keras untuk memerangi percabulan dengan menyeret penanggung jawab penerbitan ke pengadilan.[13]
Gerakan pemerintah untuk memerangi pornografi dan percabulan tidak pernah berhenti. Gerakan ini merupakan jawaban atas semakin suburnya peredaran bahan-bahan yang berbau pornografi. Peredaran bahan-bahan yang demikian kelihatan semakin mencolok pada masa orde baru. Pada tanggal 2 Oktober 196, Departemen Penerangan bersama Pengurus Harian PWI Pusat, PWI Jaya dan SPS, Departemen Dalam Negeri, serta Departeman Luar Negeri, menyelenggarakan rapat gabungan yang membahas masalah pornografi dalam pers di Indonesia. Pada tahun 1970, Kejaksanaan Agung membentuk sebuah tim yang bernama “Tim Penelaahan Porno Kejaksaan Agung” di bawah pimpinan Jaksa Agung Muda Bidang Intel. Meskipun demikian, pornografi di Indonesia tetap saja berkembang dengan subur.
Perang terhadap pornografi terus dikumandangkan oleh pemerintah. Pada tahun 1984, pornografi mencapai puncaknnya dengan beredarnya kalender Happy New Year 1984 Sexindo. Kalender ini merupakan yang pertama di Indonesia yang menampilkan perempuan-perempuan telanjang tanpa sehelai benang pun. Memasuki tahun 1988, pornografi di Indonesia mulai menggila lagi. Film dengan judul Pembalasan Ratu Laut Selatan, sangat mengejutkan masyarakat. MUI mengajukan protes keras atas produksi dan peredaran film tersebut. Sebagian kalangan menilai bahwa film tersebut masuk dalam kategori softcore pornography. Pada waktu yang bersamaan, Badan Sensor Film (BSF) juga menarik peredaran film Akibat terlalu Genit.
Menurut catatan Badan Sensor Film, selama semester 1 tahun 1984/85, BSF telah menyensor 60-an judul film. Dari judul sebanyak itu, 44 judul atau 67,3%, harus mengalami pemotongan lantaran menggambarkan adegan porno. Beberapa judul film yang bernada provokatif antara lain: Cinta di Balik Noda, Tergoda Rayuan, Midah Gadis Buronan, Kawin Kontrak, Pengantain Pantai Biru, dan Gadis Simpanan.
Ledakan film pornografi di Indonesia menggila lagi pada awal tahun 1990-1994 an. Produksi perfilman semakin masif mengeksploitasi pornografi,. Tengok saja judul-judul film yang dirpoduksi tahun itu: Ranjang yang Ternoda, Ranjang Pemikat, Asmara, Perempuan di Persimpangan Jalan,Gairah Malam, Gairah Cinta, Gairah yang Nakal, Gadis Malam,Gadis Metropolis, Janda Kembang, Selir Sriti, Selir Durga Ratih,Akibat Hamil Muda, Kenikmatan Tabu, Setetes Noda Manis, Cinta Dalam Nafsu, Godaan Perempuan Halus, Skandal Ibis, MisteriPermainan Terlarang, Sorgaku Nerakaku. Judul-judul itu baru sebagian dari sekitar 40-an judul film yang dikategorikan porno.
Bahan-bahan yang bersifat pornografi dan pornoaksi, baik lewat VCD/DVD, medsos maupun situs-situs online, terus berkembang biak bagai penyakit menular. Protes-protes dan kecaman senantiasa muncul dari masyarakat. Namun, protes-protes dan kecaman yang dilontarkan masyarakat itu sepertinya hanya berlaku sesaat. Karena setelah protes itu reda, peredaran bahan-bahan ataupun situs-situs pornografi tersebut kembali marak, bahkan dengan intensitas yang jauh lebih tinggi dibanding sebelumnya. Belajar dari pengalaman negara lain, sudah seharusnya pemerintah Indonesia bertanggung jawab melindungi warga negaranya, terutama anak-anak dan generasi mudanya dari kebiadaban makhluk pornografi.[14]
Efek pornografi terhadap remaja terdiri dari empat tahapan yang meliputi adiksi, eskalasi, desensitisasi dan act out (Supriati & Fikawati, 2009). Adiksi adalah tahap kecanduan, yaitu keinginan untuk mengkonsumsi pornografi kembali timbul setelah terpapar oleh konten tersebut sebelumnya. Berikutnya adalah eskalasi yaitu munculnya kebutuhan untuk mengonsumsi konten pornografi dengan muatan materi seks yang lebih berat daripada sebelumnya. Tahap yang ketiga, desensitisasi, merupakan tahap ketika materi seks yang awalnya tabu, tidak bermoral dan merendahkan martabat  manusia secara perlahan dianggap sebagai sesuatu yang biasa, bahkan pada tahap ini, seseorang dapat menjadi tidak sensitif terhadap korban kekerasan seksual. Hal ini juga senada dengan pandangan ahli yang melihat pornografi sebagai bentuk subordinasi terhadap perempuan. Tahap terakhir, act out, adalah tahapan yang dapat dikategorikan sebagai tahapan yang paling nyata karena pada tahap ini, seseorang dapat mengaplikasikan perilaku seksual pornografi yang selama ini hanya dikonsumsinya.[15]




Hasil studi lainnya yang dimuat di situs The Conversation menunjukkan bahwa anak muda yang mengonsumsi pornografi cenderung akan mengembangkan perilaku seksual abusif. Mereka yang pernah menyiksa orang lain secara seksual mengatakan bahwa jika saja mereka menerima bantuan terkait permasalahan mereka dengan pornografi, maka kecenderungan mereka untuk berlaku abusif akan berkurang (McKibbin, Hamilton, & Humphreys, 2016).[16]

Dampak Pornografi :
a.       Intensitas menonton dan membaca pornografi
b.       Perilaku seksual menyimpang terhadap diri sendiri.
1)      Mendorong remaja untuk meniru melakukan tindakan seksual
2)      Membentuk sikap,nilai,dan perilaku yangg  negatif
3)      Menyebabkan suliit berkonsentrasi belajar sehingga terganggu jati dirinya
4)      Tertutup, minder dan tidak percaya diri
c.        Perilaku seksual mennyimpang pada orang lain[17]
2.      Pornoteks
Adalah karya pencabulan (porno) yang ditulis sebagai naskah cerita atau berita dalam berbagai versi hubungan seksual,dalam berbagai bentuk narasi, konstruksi cerita,testimonial,atau pengalaman pribadi secara detaail dan vulgar, termasuk pula cerita porno dalam buku-buku komik, sehingga pembaca seakan-akan ia menyaksikan sendiri, mengalami atau melakukan sendiri peristiwa hubungan-hubungan seks itu. Penggambaran yang detail secara narasi terhadap hubungan seks inni menyembabkan terciptanya theatre of the mind pembaca tentang arena seksual yang sedang berlangsung, sehingga fantasi seksual pembaca menjadi “menggebu-gebu” terhadap objek hubungan seks yang digambarkan itu.
3.      Pornosuara
Pornosuara, yaitu,tuturan,kata-kata, dan kalimat-kalimat yang diucapkan seseorang, yang langssung atau tidak langsung bahkan secara halus atau vulgar melakukan rayuan seksual, suara atau tuturan tentang objek seksual atau aktivitas seksual. Pornosuara ini secara langsung ataau tidak memberi penggambaran tentang objek seksual maupun aktivitas  seksual kepada lawan bicara atau pendengar, sehingga berakibat kepada efek rangsangan seksual terhadap orang yang mendengar atau penerima informasi seksual  itu.[18]
4.    Pornoaksi
Adalah suatu penggambaran aksi gerakan,lenggokan, liukan, tubuh, penonjolan bagian-bagian tubuh yang dominan memveri rangsangan seksual sampai dengan aksi mempertontonkan payudara dan alat vital yang tidak sengaja atau disengaja untuk memancing bangkitnya hawa nafsu seksual bagi yang melihatnya. Pornoaksi pada awalnya adalah aksi-aksi subjek-subjek seksual yaangg dipertontonkan secara langsung dari seseorang kepada orang lain,sehingga menimbulkan rangsangan seksual bagi seseorang termasuk menimbulkan histeria seksual di masyarakat.
5.      Pornomedia
Dalam konteks media massa, pornografi,pornoteks,pornosuara,da pornoaksi menjadi bagian-bagian yang saling berhubungan sesuai dengan karakter media yang menyiarkan porno itu. Namun, dalam banyak kasus, pornografi (cetak-visual) memiliki kedekatan dengaan pornoteks, karena gambar dan teks dapat disatukan dalam media cetak. Sedangkan pornoaksi dapat bersamaan pemunculannya dengan pornografi (elektronik) karena ditayangkan ditelevisi. Kemudian pornosuara bersamaan dapat bersamaan muncul dalam media-visual,seperti televisi,atau media audio semacam radio dan media telekomunikasi lainnyya seperti telepon. Bahkan varian-varian porno ini menjadi satu dalam media jaringan,seperti internet yaitu sering dikenal dengan cybersex,cyberporno,dan sebagainya.  Agenda media tenttaang varian pencabulan (porno) daan penggunaan media massa dan telekomunikasi ini untuk meenyebarkan perncabulan tersebut inilah yang dimaksud dengan pornomedia.
      Dengan demikian, konsep pornomedia meliputi realitas porno  yang diciptakan oleh media,seperti antara lain gambar-gambar dan teks-teks porno yang dimuat dimedia cetak,film-film porno yang ditayangkan ditelevisi, cerita-cerita cabul yang disiarkan diradio,providertelepon yang menjual jasa suarra-suara rayuan porno dan sebagainya serta proses penciptaan realitas porno  itu sendiri  seperti proses tayaangan-tayangan gambar serta ulasan-ulasan cerita tentang pencabulan di media massa, proses rayuan-rayuan yang menggandung rangsangan seksual melalui sambbungan telepon,penerbitann teks-teks porno, dan sebgainya. Berdasarkan historologi pornomedia, pornomedia merupakan kecenderungan media massa dalam pemberitaannya :
a.       Ketika media telah kehilangan idealisme
b.      Ketika media merasa tirasnya terancam menurun
c.       Ketika media massa perlu bersaing dengan sesama media
d.      Ketika media baru memposisikan dirinya dimasyarakat
e.       Ketika masyarakat membutuhkan pemberitaan pornomedia.[19]
Dalam hal pornomedia,kebutuhan itu bersifat menndua. Pertama dalam kasus tertentu,objek pornomedia (pemilik tubuh dalam gambar porno atau pencipta pornografi),umumnya memperoleh bayaran yang cukup besar atas pemuaatan gambar porno miiknya yang dimuat di suatu media massa. Artinya objek pornomedia mengahasilkan sejumlah uang untuk kepentingan pribadi. Kedua, pornomedia dibutuhkan masyarakat,karena itu masyarakat itu memililki andil yang beesar terhadap munculnya pornomedia. Alasan kedua ini merupakan persoalan substansi yang menjadikan pornomedia sebagai benang kusut yangg sulit ditanggulangi dari masa ke masa. Substansi ini pula yangg menyebabkan kontrol sosial masyarakat terhadap pornomedia menjadi sangat longggar, sementara pemerintah (penguasa) sendiri tak mampu berbuat lebih banyak karena kesulitan peranti hukum. Inilah persoalannya,sehingga pornomedia menjadi sisi gelap media massa dan eksplotasi perempuan terbesar oleh media massa sepanjang masa.
     Alasan menempatkan pornomedia sebagai kekerasan perempuan terbesar di media massa karena :
a.       Media dengan sengaja menggunakan objek perempuan untuk keuntungan bisnis mereka,dengan demikian penggunaan pornomediadilakukan secara terencana untuk mengabaikan,menistakan, dan mencampakkan harkat manusia,khususnya perempuan.
b.      Objek pornomedia (umumnya tubuh perempuuan) dijadikan sumber kapital yang dapat mendatangkaan uang,sementara perempuan sendiri menjadi subbjek yang disalahkan.
c.       Media massa telah mengabaikan aspek-aspek moral dan perusakan terhadap nilai-nilai pendidikan dan agama serta tidak bertaggungjawab terhadap efek-efek negatif yang terjadi di masyarakat.
d.       Selama ini berbagai pendapat menyudutkan perempuan sebagai subjek yang bertanggungjawab atas pornomedia tidak pernah mendapat pembelaan dari media massa dengan alasan pemberitaan dari media harus berimbang;
e.        Media massa secara politik menempatkan perempuan sebagai bagian kekuasaan mereka secara umum.[20]

C.     Pengaruh Pornomedia : Kritik terahdap Pornografi
Bahaya pornomedia dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.      Mengubah perilaku normal menjadi abnormal
2.      Meningkatkan kebiasaan menelusuri dan mengonsumsi pornomedia dan menjadikan perilaku anomali sebagai kebiasaan.
3.      Mengumpulkan paandanggan tentang pornomedia dan mengubah pandangan normal terhadap anomali pornomedia.
4.      Mencari kepuasaan pornomedia di dunia nyata
5.      Sikap terhadap pencarian kepuasan pornomedia di dunia nyata dan anomali seksual sebagai tindakan normal dan wajar.
Jadi terlihat bahwa, pornomedia berada pada keadaan disorde, yaitu kondisi yang melawan tatanan sosial yang ada berdasarkan struktur sosial masyarakat yang melindungi seks dan aurat dalam bingkai norma tertutup dan memilki nilai mulia dalam keluarga, masyarakat,dan agama. Menuju keadaan order, yaitu sebuah tatanan sosial baru yang meningggalkan tatanan sosial lama yang mengarah ke seks bebas yang menganggap seks dan aurat menusia sebagai komoditas, media pemuasanbiologis yang lepas dari norma-norma masyarakat  dan gama serta dapat dilakuukan tanpa harus melalui lembaga perkawinan.
Melihat substansi persoalan maka yang palinng harus dirisukan adalah bukan sekadar pornografi dan pornoaksi akan tetapi  justru pornomedia, karena pornomedia adaalah tindakan media massa yang mengeksploitasi semua varian porno, seperti pornografi, pornoaksi, pornoteks, dan pornosuara untuk mencari keuntungan bagi kepentingan kapitalisme media. Kekuatan pornomedia terletak pada kekuatan konstruksi sosial media massa, Severin dan Tandark Jr. (2005) dan didalam pornomedia (2005) mngataakan pemberitaan media massa adalah konstruksi sosial media. Begitu pula, dalam Agenda Setting  (McComb,1950) mengatakan isu media massa menjadi penting bagi khalayak. Terpaan khalayak dalam teori peluru (Schramm,1960) juga menunjukkan bahaya yang menyapu rata seluruh khhalayak ketika sebuah pemberitaan disiarkan,walaupun teori ini dikoreksi oleh model efek terbatas (Hovland, 1960) namun terpaan khalayaksering kali  terjadi juga dalam banyak kasus pemberitaan media massa saat ini.
Jadi kesimpulannya, bahwa substansi persoalan aadalah pada pornomedia,  karena apapun tindakan porno yang dilakukan oleh masyarakat menjadi konnteks dalam “kewilayahan domestik” namun apabila tindakan porno itu ditayangkan di media massa maka menjadi konsumsi publik, maka pornomedia inilah yangg sangat berbahaya, karena pornomedia mampu menciptakan kerusakan sosial yangg sangat besar melalui kekuatan konstruksi sosial media massa itu.[21]



DAFTAR PUSTAKA

Bungin,Burhan. Sosiologi Komunikasi,Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.2006.
Kurnianingsih Sri, Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan di Tempat Kerja, Jurnal Psikologi. 11(2) : 116-129.
Maryandi Yandi, Pornografi dan Pornoaksi ( Perspektif Sejarah dan Hukum Islam), Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. 1(1) : 21-40
Rachmaniar, Prihandini Puji, Janitra Almashava Preciosa., Perilaku Penggunaan Smartphone dan Akses Poornografi di Kalangan Remaja Perempuan, Jurnal Komunikasi Global. 7(1) : 1-11
R Haryani Mulya, Mudjiran, Syukur Yarmis., Dampak Pornografi terhadap Peerilaku Siswa dan Upaya Guru Pembimbing untuk Mengatasinya, Jurnal Ilmiah Konseling. 1(1) : 1-8







[1] Lihat Burhan Bungin,Sosiologi komunikasi,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2006,hlm.338.

[2] Lihat Burhan Bungin,Sosiologi Komunikasi,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2006,hlm.338,339.
[3]Lihat Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja, Jurnal Psikologi,2003,hlm.117.

[4] Lihat Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja, Jurnal Psikologi,2003,hlm.118.

[5] Lihat Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja, Jurnal Psikologi,2003,hlm.119.

[6] Lihat Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja, Jurnal Psikologi,2003,hlm.120.
[7] Lihat Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja, Jurnal Psikologi,2003,hlm.120.

[8] Lihat Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja, Jurnal Psikologi,2003,hlm.121,122.

[9] Lihat Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja, Jurnal Psikologi,2003,hlm.122.


[10] Lihat Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja, Jurnal Psikologi,2003,hlm.122,123.
[11] Lihat Burhan Bungin,Sosiologi komunikasi,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2006,hlm.341.
[12] Lihat Yandi Maryandi, Pornografi dan Pornoaksi ( Perspektif Sejarah dan Hukum Islam), Jurnal Peeradaban dan Hukum Islam,2018hlm.25,26.
[13] Lihat Yandi Maryandi, Pornografi dan Pornoaksi ( Perspektif Sejarah dan Hukum Islam), Jurnal Peeradaban dan Hukum Islam,2018hlm.30.

[14] Lihat Yandi Maryandi, Pornografi dan Pornoaksi ( Perspektif Sejarah dan Hukum Islam), Jurnal Peradaban dan Hukum Islam,2018,hlm.30,31.
[15] Lihat Rachmaniar,Puji Prihandini,Preciosa Alnashava Janitra, Perilaku Penggunaan Smartphone dan Akses Pornografi di Kalangan Remaja Perempuan, Jurnal Komunikasi Global,2018,hlm.5
[16] Lihat Rachmaniar,Puji Prihandini,Preciosa Alnashava Janitra, Perilaku Penggunaan Smartphone dan Akses Pornografi di Kalangan Remaja Perempuan, Jurnal Komunikasi Global,2018,hlm.5.
[17] Lihat Mulya Hariani, Mudjiran, Yarmis Syukur, Dampak Pornografi terhadap Perilaku Siswa dan Upaya Guru Pembimbing untuk Mengatasinya, Jurnal Ilmiiahh Konseling, 2012,hlm.5.
[18] Lihat Burhan Bungin,Sosiologi komunikasi,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2006,hlm.342.

[19] Lihat Burhan Bungin,Sosiologi komunikasi,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2006,hlm.343,344.

[20] Lihat Burhan Bungin,Sosiologi komunikasi,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2006,hlm.344,345.
[21] Lihat Burhan Bungin,Sosiologi komunikasi,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2006,hlm.351.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CITRA KEKERASAN PEREMPUAN

CITRA KEKERASAN PEREMPUAN Pencitraan merupakan kumpulan citra ( the collection of images ) yang dipergunakan untuk melukiskan objek dalam...