PELECEHAN SEKSUAL DAN PORNOGRAFI
A.
Berawal dari wacana seks
Masalah tubuh
perempuan sebagai objek porno, sebenarnya telah lama menjadi polemik dihampir
semua masyarakat disebabkan kaarena adanya dua kuutup dalam menilai tubuh
manusia (teutama perempuan) sebagai objek seks. Pertama : kelompok yang
memuja-muja tubuh sebagai objek seks serta merupakan sumber
kebahagiaan,kesenangan,keintiman,status sosial, dan seni. Kemlompok ini
memuliakan seks sebagai karunia Tuhan kepada manusia. Seks juga dipandang
sebagai sumber ketenangan batin, sumber inspirasi,bahkan salah satu tujuan
akhir perjuangan manusia. Kedua: kelompok yang menuduh seks sebagai
objek maupun subjek dari sumber malapetaka bagi kaum perempuann itu sendiri.
Kelompok inni diwakili pula oleh dua aliran pemikiran :
1.
Kelompok yang mewakili pemikiran feminis
radikal,yang menganggap jenis kelamin sebagai sumber persoalan seksisme
(diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin) dan ideologi patriarki.
Pemikiran ini menuduh laki-laki secara biologis maupun politis menguasai tubuh
perempuan, laki-laki memiliki “fisik yang lebih kuat” untuk memperlakukan
perempuan sebagai objek seks mereka. Laki-laki
juga secara politis telah menciptakan ideologi patriarki sebagai dasar
penindasan yang merupakan sistema kirarki seksusal dimana laki-laki memilki
kekuasaan superior dan privillage terhadap perempuan.
2.
Kelompok yang menamakan diri mereka sebagai feminis
marxis melihat bahwa ideologi kapitalis adalah sumber penguasaan seks terhadap
perempuan. Jatuhnya status seks perempuan
disebabkan karena perubahan dalam sistem kekayaan. Era private property, yaitu
era hewan piraan dan pertanian sebagai masa awal penciptaan suplius yang
kemudian menjadi awal perdagangan dan produksi untuk perdagangan. Karena
laki-laki mengontrol produksi untuk perdagangan maka, mereka menguasai hubungan
sosial dan politik sedangkan perempuan direduksi sebagai bagian dari property,
dengan demikian laki-laki meemilki kontrol terhadap seks atas perempuan
sebagai bagian dari kekuasaan sosial laki-laki.[1]
Pemikiran-pemikiran
diatas mendasari semua argumentasi dan polemik tentang seks sebagai objek porno
dimasyarakat baik sebagai alasan memuja-muja seks maupun alasan pennguasaan
objek seks. Walaupun cara mereka terletak pada cara mereka mengeksplotasi seks,
akan tetapi target eksploitasi tetap saja seks sebagai objek. Dengan demikian
dari masa ke masa,masyarakat terus berpolemik tentang seks diantara dua kutup
itu.[2]
Meyer dkk. (1987) menyatakan secara umum ada tiga aspek penting
dalam mendefinisikan pelecehan seksual yaitu aspek perilaku (apakah hal itu
merupakan proposisi seksual), aspek situasional (apakah ada perbedaan di mana
atau kapan perilaku tersebut muncul) dan aspek legalitas (dalam keadaan
bagaimana perilaku tersebut dinyatakan ilegal).
Berdasarkan aspek perilaku, Farley (1978) mendefinisikan pelecehan
seksual sebagai rayuan seksual yang tidak dikehendaki penerimanya, di mana
rayuan tersebut muncul dalam beragam bentuk baik yang halus, kasar, terbuka,
fisik maupun verbal dan bersifat searah.
Bentuk umum dari pelecehan seksual adalah verbal dan godaan secara
fisik (Zastrow dan Ashman, 1989; Kremer dan Marks, 1992), di mana pelecehan
secara verbal lebih banyak daripada secara fisik. Para ahli tersebut menyebutkan
pelecehan seksual dalam bentuk verbal adalah bujukan seksual yang tidak
diharapkan, gurauan atau pesan seksual yang terus menerus, mengajak kencan terus
menerus walaupun telah ditolak, pesan yang menghina atau merendahkan, komentar
yang sugestif atau cabul, ungkapan sexist mengenai pakaian, tubuh,
pakaian atau aktivitas seksual perempuan, permintaan pelayanan seksual yang
dinyatakan dengan ancaman tidak langsung maupun terbuka.
Pelecehan seksual dalam bentuk godaan fisik di antaranya adalah
tatapan yang sugestif terhadap bagian-bagian tubuh (menatap payudara, pinggul
atau bagian tubuh yang lain), lirikan yang menggoda dan mengejap-ngejapkan
mata, rabaan; mencakup cubitan, remasan, menggelitik, mendekap, dan mencium,
gangguan seksual seperti rabaan atau ciuman yang terjadi karena situasi yang
sangat mendukung misalnya di lift, koridor dan ruang lain yang sepi
setelah jam kerja, tawaran kencan dengan imbalan promosi atau[3] memojokkan
perempuan untuk dicium, proposisi seksual, tekanan yang halus untuk aktivitas
seksual, usaha perkosaan dan perkosaan itu sendiri.
Dipandang dari aspek situasional, pelecehan seksual dapat dilakukan
dimana saja dan dengan kondisi tertentu. Perempuan korban pelecehan seksual
dapat berasal dari setiap ras, umur, karakteristik, status perkawinan, kelas
sosial, pendidikan, pekerjaan, tempat kerja, dan pendapatan (Hadjifotiou, 1983;
Higgins dan Hawkins, 1986).
Hasil survei pekerja federal pada 20.083 orang dengan berbagai
karakteristik (jenis kelamin,penghasilan, tingkat pendidikan dll.) menunjukkan
hasil bahwa perempuan lajang dan bercerai lebih banyak menjadi korban daripada
perempuan yang sudah menikah, insiden yang menimpa janda lebih kecil daripada
perempuan yang sudah menikah namun hal ini lebih berkaitan dengan faktor umur.
Dari segi organisasi, trainee perempuan paling besar
persentasenya mengalami pelecehan seksual, namun tidak ada hubungannya dengan
kategori pekerjaan, tidak ada hubungan yang jelas antara tingkat penghasilan
dan insiden pelecehan seksual, ada hubungan yang positif antara tingkat pendidikan
dengan insiden pelecehan seksual, ada hubungan yang positif antara tingkat
penghasilan dan insiden pelecehan seksual, ada hubungan yang positif antara tingkat
pendidikan dengan insiden pelecehan seksual dan terdapat korelasi yang sangat kuat
antara tingkat usia dan ketergantungan terhadap kerja dengan tingkat dan frekuensi
pelecehan seksual di mana semakin muda semakin tergantung pada pekerjaannya, frekuensi
pelecehan seksualnyapun semakin tinggi. Perempuan yang mendobrak ke dalam
pekerjaan yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki juga akan lebih
sering mengalami pelecehan seksual daripada perempuan lain (Tangri, Burt dan
Johnson, 1982).
Gutek dan Dunwoody (1987) menyatakan bahwa aktivitas seksual yang dipandang
sebagai suatu bagian dalam persyaratan kerja (seperti penting untuk memperoleh
dan mempertahankan pekerjaan, atau untuk memperoleh promosi) didefinisikan
sebagai pelecehan seksual oleh 81 persen hingga 98 persen pekerja dewasa dan
responden mahasiswa. Kedua ahli ini juga menunjukkan beberapa faktor yang mempengaruhi
persepsi terhadap situasi yang dinilai sebagai pelecehan seksual yaitu:
perilaku yang terlibat, hubungan di antara dua orang yang terlibat, usia, jenis
kelamin rater dan jenis pekerjaan.[4]
1.
Perilaku yang terlibat. Perilaku
seksual yang eksplisit dan perilaku yang melibatkan ancaman atau peringatan
jauh dipandang lebih mendekati konsep pelecehan seksual daripada perilaku yang
lain. Pryor dan Day (1988) menyebutkan orang akan lebih menilai rayuan seksual
terhadap perempuan sebagai pelecehan seksual, bila perilaku tersebut
diatribusikan kepada laki-laki yang melakukan intensi negatif (refleksi rasa
permusuhan atau ketidakpekaan terhadap perasaan perempuan) terhadap perempuan
secara terus menerus.
2.
Hubungan di antara orang yang terlibat.
Situasi yang lebih dipersepsi sebagai pelecehan seksual bila pelaku pelecehan
tersebut adalah atasan korban daripada bila pelaku adalah teman sekerja ataupun
bawahan korban, atau bila korban sudah berusaha untuk menghindar dari pelaku
pelecehan daripada bila kedua orang tersebut (korban dan pelaku) memang sering
berkencan. Insiden ini juga dipersepsi sebagai pelecehan seksual bila pelaku
pelecehan adalah laki-laki (Gutek dan Morash, 1983), dan perempuan adalah
korbannya (Gutek, Morasch dan Cohen, 1983).
3.
Usia. Usia korban perempuan
masih muda. Hasil riset menunjukkan bahwa perempuan muda dan belum/tidak
menikah secara khusus mudah terserang pelecehan seksual walaupun perempuan dari
segala usia, suku, pekerjaan, tingkat penghasilan dan status perkawinan pernah
mengalami pelecehan seksual. Kecenderungan pelecehan seksual pada perempuan di
bawah 20 tahun dua kali lipat dibandingkan mereka yang berusia 20 – 40 tahun
(Zastrow dan Ashman, 1989).
4.
Jenis kelamin rater. Rater
perempuan memberikan batasan yang lebih luas tentang perilaku seksual di
tempat kerja yang tergolong pelecehan seksual, sedangkan laki-laki cenderung
untuk merating perilaku seksual yang ekstrem sebagai pelecehan seksual.
5.
Jenis pekerjaan. Manajer tingkat tinggi
cenderung merating insiden tersebut kurang serius dibandingkan manajer menengah
atau bawah, dan persepsi fakultas cenderung lebih longgar dalam memandang
perilaku pelecehan seksual daripada mahasiswanya. Sejalan dengan pendapat ini,
Pryor dan Day (1988) menemukan bahwa perilaku sosial seksual yang tertuju kepada
mahasiswa dipandang lebih tidak diharapkan dan lebih menganggu daripada
perilaku yang sama dari mahasiswa tertuju kepada mahasiswi.[5]
Menurut Rahardjo (2008) bentuuk-bentuk perilaku seksual bebas yang
biasa dilakukan ialah :
1.
Kissing, atau perilaku
berciuman,mulai dari ciuman ringan sampai deep kissing
2.
Necking, atau perilaku
mencium daerah sekitar leher pasangan
3.
Petting, atau segalaa
bentuk kontak fisik seksual berat tapi tidak termasuk intercourse, baik
itu light petting (meraba payudara dan alat kelamin pasangan atau hard
petting (menggosokkan alat kelamin sendiri ke alat kelamin pasangan,baik
dengan berbusana atau tanpa busana)
4.
Intercourse, atau penetrasi
alat kelamin pria ke alat kelamin wanita.
Pelaku
pelecehan seksual dalam organisasi mayoritas berada dalam posisi sejajar atau
lebih tinggi daripada perempuan yang mengalami pelecehan seperti penyelia atau bos
laki-laki yang memiliki kekuasaan ekonomi atas dirinya dan sebagian besar sudah
menikah. Wise dan Stanley (1987) menyebutkan tiga ciri-ciri lelaki pelaku
pelecehan seksual yaitu :
1.
Tidak memiliki ketrampilan sosial dan mengalami
kebingungan sosial
2.
Adalah orang yang bermasalah, yang minum-minuman
keras terlalu banyak, dan terlalu dekat dengan ibunya
3.
Umumnya adalah orang yang nervous dan kekanak-kanakan.
Disamping
karakteristik pelaku, tempat terjadinya pelecehan seksual pun mempunyai
karakteristik yang mendukung. Organisasi kerja di mana pelecehan seksual akan
lebih banyak terjadi adalah organisasi kerja yang mempunyai ciri :
1.
Mempunyai struktur dan stratifikasi yang tinggi
2.
Hampir tidak mempunyai perhatian untuk perbaikan
terhadap urusan yang berhubungan dengan pekerjaan
3.
Mempunyai pilihan atau persyaratan untuk berlibur
atau kerja lembur
4.
Mempunyai rasio jenis kelamin yang tidak seimbang
5.
Mempunyai pengharapan akan “perilaku yang seksi” di
tempat kerja
6.
Memiliki iklim organisasional yang
dikarakterisasikan dengan masalah peran,
7.
Memiliki kelompok kerja yang besar atau kantor yang
semi privat
8.
Pimpinan tidak ketat dalam memberi sanksi bagi
pelaku pelecehan (Gutek dan Dunwoody, 1987; Offerman & Malamut, 2002). [6]
Sehubungan
dengan kondisi yang mendukung terjadinya pelecehan seksual, MacKinnon (1979)
memilahkan dua bentuk pelecehan seksual yaitu tipe quid pro quo dan
kondisi pekerjaan. Tipe quid pro quo didefinisikan berdasarkan banyak
atau sedikitnya pertukaran yang eksplisit: perempuan harus menerima secara
seksual atau kehilangan keuntungan pekerjaan. Sementara tipe kondisi pekerjaan
merupakan pelecehan seksual yang efektif (untuk dilakukan) karena status pekerja
perempuan berada dalam keadaan tertekan, mereka membutuhkan uang dan terintimidasi
melalui dunia pekerjaannya.
Tong
(1984) menyebutkan dua tipe pelecehan seksual yaitu pelecehan seksual tipe
koersif dan pelecehan seksual tipe non koersif. Pelecehan seksual tipe koersif
mencakup perilaku seksual yang tidak senonoh, yang menawarkan keuntungan atau ganjaran
terhadap subjek yang dituju, dan/atau perilaku seksual yang tidak senonoh, yang
memberikan ancaman kerugian bagi subjek yang dituju. Pelecehan seksual tipe non
koersif merupakan perilaku-perilaku seksual yang tidak senonoh yang hanya menjengkelkan
atau menyakitkan hati orang-orang yang dituju. Faktor yang membedakan kedua
tipe pelecehan di atas adalah tujuan utama pelaku pelecehan, dimana pada tipe
ke dua adalah bukan untuk menjadikan perempuan memberikan pelayanan seksual,
melainkan hanya untuk menjengkelkan atau menyakitkan hati subjek yang dituju.[7]
Ada berbagai penyebab munculnya perilaku pelecehan seksual. Di
antaranya adalah dominasi laki-laki pada sistem manajemen, dominasi kekuatan
laki-laki terhadap perempuan, pengaruh media massa dan ideologi, adanya standar
ganda dalam sistem sosial masyarakat,
perempuan yang tidak asertif, dan struktur kerjaan yang lebih mengutamakan kaum
laki-laki (Jawa Pos, 26 April 1993).
Tangri, Burt dan Johnson (1982) mengemukakan model sosio-kultural
mengenai pelecehan seksual. Menurut model ini, pelecehan seksual merupakan
manifestasi dari besarnya sistem patriarkal di mana laki-laki merupakan
pengatur kepercayaan sosial. Model ini menyatakan, dominasi laki-laki
diperlukan oleh pola budaya yang mengatur
Interaksi
laki-laki-perempuan sebaik peraturan ekonomi dan politik. Masyarakat mengganjar
laki-laki untuk berperilaku agresif dan mendominasi secara seksual (maskulin) dan
perempuan untuk kepasifan dan penerimaan (feminin). Anggota setiap jenis
kelamin disosialisasikan untuk memainkan perannya. Perempuan dilatih untuk menjadi
menarik secara seksual, untuk menjadi fasilitator sosial dan menghindari konflik,
untuk tidak mempercayai penilaian mereka sendiri terhadap apa yang terjadi pada
diri mereka, dan merasa bertanggung jawab terhadap pengorbanan diri
mereka, menyebabkan mereka mudah
terserang pelecehan seksual.
Dapat disimpulan bahwa pelecehan seksual seringkali terjadi ketidaksadaran
kolektif laki-laki sebagai akibat dari akar struktur gender yang telah tertanam
dengan mendalam di kalangan masyarakat yang sebenarnya tidak adil. Hal ini juga
terjadi di Indonesia, di mana sejak kecil perempuan dibiasakan bersifat feminin
dan laki-laki bersifat maskulin (Nuryoto, 1992).
Sabaroedin (dalam Media Indonesia, 18 September 1991) menyatakan
pelecehan seksual terjadi akibat pengkondisian sosial dalam masyarakat. Dalam
masyarakat patriarki, kekuasaan berada di tangan mereka yang berjenis kelamin
laki-laki. Perempuan otomatis dipandang sebagai subordinat yang boleh
diremehkan. Standar peran jenis tersebut menimbulkan stereotip gender yang
melibatkan pengharapan bagaimana seseorang harus berperilaku sesuai peran
jenisnya (Zastrow dan Ashman, 1989). Stereotip jenis kelamin tersebut ada di
mana-mana. Survei William dkk. (dalam Brigham, 1991) pada 25 negara di dunia
menunjukkan derajat yang patut diperhitungkan pada cross cultural agreement dimana
traits yang ditampakkan orang dewasa dan anak-anak sangat khas laki-laki dan
perempuan. Lebih lanjut lagi, Brigham (1991) dan Master dkk. (1992) menyatakan
bahwa secara tradisional wantia dipandang secara alamiah penuh kasih sayang,
halus, penuh perhatian dan peka (feminin) sedangkan laki-laki sebagai
pemberani, agresif, petualang dan mandiri (maskulin).
Stereotip jenis kelamin yang muncul saat ini tentang laki-laki
adalah agresif, mandiri, percaya diri, ambisius, tidak sensitif, kaku, kuat,
penuh rasa ingin tahu, kompetitif,
objektif, dominan, rasionalitas, ketidaksetiaan dan kasar. Pada umumnya perempuan
dipandang tergantung, patuh, intuitif, sopan, emosional, sensitif, cerewet, sabar,
irasional, kesetiaan, mengalah, pemalu, lemah lembut, submisif, pasif, penerima
inisiatif laki-laki dan ekspresif (MacKinnon, 1979; Suryakusuma, 1991; Master
dkk., 1992). Meskipun setiap stereotip tersebut berisi aspek-aspek negatif dan
positif, secara umum karakter laki-laki (maskulinitas) mewakili kekuatan dan
dominasi, sedangkan karakter perempuan
(feminitas) mewakili lemah dan patuh.[8]
Dengan masuknya perempuan ke dalam angkatan kerja, pengaruh peran
jenis dalam organisasi terwujud. Setiap individu memiliki banyak peran baik di
dalam maupun di luar organisasi (Katz dan Kahn dalam Popovich dan Licata,
1987). Organisasi sebagai sistem peran dan memberikan batasan peran sebagai
seperangkat perilaku yang diharapkan oleh anggota lain dalam suatu organisasi
terhadap seseorang, dan dilakukan oleh orang tersebut. Kompleksitas masalah
muncul ketika seseorang memiliki peran kerja yang berganda karena konteks kerja
seringkali dipengaruhi peran jenis (Gutek dkk., 1982; 1983; Baron dan Byrne,
1991).
Dibawanya peran jenis ke dalam peran kerja dapat terjadi karena
beberapa alasan
yang
berhubungan (Gutek dan Morasch ,1982; Greene, 1982; Gutek dan Dunwoody, 1985).
Alasan tersebut antara lain adalah:
1.
Identitas gender
(laki-laki/perempuan) lebih dipandang sebagai kategori koginitif, dibanding
peran kerjanya dan merupakan karakteristik yang paling mendasar dalam kehidupan
sosial
2.
Perempuan mungkin merasa lebih
nyaman dengan stereotipi peran perempuan dalam beberapa keadaan, terutama bila
mereka merasa bahwa kaum laki-laki di tempat kerja hanya akan menerima dalam peran jenisnya. Pandangan
seperti inilah yang sebenarnya tidak menguntungkan perempuan sendiri
3.
Sebagian besar perempuan berada
dalam pekerjaan-pekerjaan tidak berupah (rumah tangga) sehingga sebagian besar
interaksi laki-laki dan perempuan terjadi di luar kerja. Di sana laki-laki
berinteraksi dengan perempuan sebagai anak, kekasih, istri, dan orangtua.
Laki-laki merasa lebih enak bila kembali
dalam hubungan peran yang lebih kekeluargaan di tempat kerja. Konsekuensinya,
perempuan diperlakukan pada posisi yang lebih rendah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulan bahwa pola peran jenis
laki-laki yang agresif dan aktif (maskulin) dan pola peran jenis perempuan yang
pasif (feminin) dialihkan ke dalam harapan dan peran dalam tempat kerja dan
menimbulkan permasalahan yang kompleks.[9]
Menurut Glass (1988), dalam analisis hasil penelitiannya mengenai
pelecehan seksual di tempat kerja, selama ini peran jenis laki-laki dan
perempuan didefinisikan dan disosialisasikan secara demikian berbeda dan
monopoli kekuasaan sosial atas kaum laki-laki masih berkembang. Di saat perempuan
mulai memasuki lapangan kerja, wujud dominasi kekuasaan laki-laki bergeser pada
bentuk yang nyata karena laki-laki memandang pekerjaan mereka sebagai sumber
ekonominya terancam. Wujud nyata dominasi itu berupa pelecehan seksual pada
perempuan (Shreve dan Lone, 1986).
Beberapa ahli (Gutek dan Morash, 1982; Shreve dan Lone, 1986)
menyebutkan
bahwa pelecehan
seksual terhadap perempuan di tempat kerja dilandasi oleh penemuannya pada
peran jenisnya, dalam keadaan di mana peran kerjanya bukan merupakan fokus yang
tepat, akibatnya perempuan akan menjadi objek pelecehan seksual di saat ia
menginginkan agar peran kerjanya dihargai bukan peran jenisnya. Jadi perempuan
mengalami pelecehan seksual dari laki-laki karena mereka perempuan meskipun
perempuan tersebut berada dalam perannya sebagai pekerja.[10]
B. Pergeseran Konsep Pornografi
Pada awalnya ketika masyarakat belum terbuka seperti sekaranng
ini,begitu pula media massa dan
teknologi komunikasi belum berkembang seperti saat ini,semua bentuk pencabulan
atau tindakan-tindakan yang jorok dengan menonjolkan objek seks disebut dengan
kata porno. Kemudian ketika ide-ide porno itu sudah dapat dilukis atau diukir
pada lembaran-lembaran kertas atau kanvas dan terutama ketikaa penemuan mesin
cetak di abad ke-14 sehingga masyarakat telah dapat memproduksi hasil-hasil
cetakan termasuk gambar-gambar porno, maka istilah pornografi menjadi sering
digunakan untuk menandai gambar-gambar porno pada saat itu sampai saat ini.[11]
Saat ini ketika masyarakat sudah terbuka,kemajuan teknologi
komunikasi terus berkembang, maka konsep pornografi juga telah bergeser dan
berkembang. Karena itu,secara garis besar,dalam wacana porno atau penggambaran
tindakan pencabulan (pornografi) kontemporer,
ada beberapa varian pemahaman porno yang dapat dikonseptualisasiakan,seperti
pornografi,pornoteks,pornosuara,pornoaksi. Dalam kasus tertentu semua kategori
konseptual itu dapat menjadi sajian dalam satu media,sehingga melahirkan konsep
baru yang dinamakan pornoomedia.
1.
Pornografi
Menurut bahasa pornografi berasal dari bahasa
Yunani porne yang berarti perempuan jalan dan grafein yang
berarti menulis. Dari pengertian ini menunjukkan bahwa objek utama dan sumber
pornografi adalah perempuan. Porno juga bermakna cabul, pornografi berarti
penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk
membangkitkan nafsu birahi.
Secara terminologi terdapat beberapa pengertian
yang dikemukakan para ahli dan dirumuskan dalam UU Pornografi(UU RI N0.44
Thn.2008). Pornografi didefinisikan oleh
Ernst dan Seagle sebagai berikut: “Pornography is any matter or thing
exhibiting or visually repseresenting persons or animals performing the sexual
act, whether normal or abnormal. (Pornografi adalah berbagai bentuk atau
sesuatu yang secara visual menghadirkan manusia atau hewan yang melakukan
tindakan sexual, baik secara normal ataupun abnormal).
Oleh karena itu istilah pornografi mengandung
pengertian hal-hal yang bersifat sexual. Peter Webb sebagai dikutip Rizal
Mustansyir melengkapi definisi pornografi dengan menambahkan bahwa ponografi
itu terkait dengan obscenity (kecabulan) lebih daripada sekedar erotis.
Kemudian dalam perkembangan terbaru pornografi dipahami dalam tiga pengertian :
a. Kecabulan yang merendahkan derajat kaum wanita.
b. Merosotnya kualitas kehidupan yang erotis dalam
gambar-gambar yang jorok, kosakata yang
kasar, dan humor yang vulgar.
c. Mengacu pada tingkah laku yang merusak yang
terkait dengan mental manusia.
Pengertian yang ketiga sesungguhnya sudah
terkait dengan pornoaksi, karena terkait dengan tindakan yang mengarah pada
hal-hal yang merusak melalui aktivitas seksual, baik secara kontak person yang
bersifat liar (perbedaan antar jenis, sesama jenis) maupun melalui
penyelenggaraan badaniah. Kontak seksual yang bersifat liar dalam hal ini
berarti tanpa melalui prosedur yang lazim (pernikahan), atau dalam bahasa agama
lebih dikenal dengan istilah zina. [12]

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina
itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Pornografi dan Pornoaksi barangkali setua
sejarah peradaban umat manusia di bumi, akan tetapi literatur yang mendukung
pandangan semacam itu sulit ditemukan, paling tidak hanya sebatas mitos dan
legenda yang menggambarkan fenomena pornografi dalam kehidupan nenek moyang
kita sejak Nabi Adam dan Hawa.Kita tidak tahu secara tepat mengenai asal usul
dan bentuk yang paling awal dari pornografi.
Pornografi di Indonesia bukanlah merupakan
fenomena baru. Pornografi di Indonesia boleh jadi seiring dengan perkembangan
pornografi di dunia pada umumnya. Ibarat tanaman rumput, walaupun sering
diinjak, dicabuti, bahkan dibabat, pornografi tetap tumbuh dengan subur.
Menurut catatan Lembaga Pers dan Pendapat Umum di Jakarta (sekarang sudah tidak
ada), pada tahun 1953 tercatat adanya buku-buku dan bacaan cabul berisikan
perempuan Barat yang telanjang masuk ke Indonesia dengan bebas. Sejak itu pula
pemerintah berusaha keras untuk memerangi percabulan dengan menyeret penanggung
jawab penerbitan ke pengadilan.[13]
Gerakan pemerintah untuk memerangi pornografi
dan percabulan tidak pernah berhenti. Gerakan ini merupakan jawaban atas
semakin suburnya peredaran bahan-bahan yang berbau pornografi. Peredaran
bahan-bahan yang demikian kelihatan semakin mencolok pada masa orde baru. Pada
tanggal 2 Oktober 196, Departemen Penerangan bersama Pengurus Harian PWI Pusat,
PWI Jaya dan SPS, Departemen Dalam Negeri, serta Departeman Luar Negeri,
menyelenggarakan rapat gabungan yang membahas masalah pornografi dalam pers di
Indonesia. Pada tahun 1970, Kejaksanaan Agung membentuk sebuah tim yang bernama
“Tim Penelaahan Porno Kejaksaan Agung” di bawah pimpinan Jaksa Agung Muda
Bidang Intel. Meskipun demikian, pornografi di Indonesia tetap saja berkembang
dengan subur.
Perang terhadap pornografi terus dikumandangkan
oleh pemerintah. Pada tahun 1984, pornografi mencapai puncaknnya dengan
beredarnya kalender Happy New Year 1984 Sexindo. Kalender ini merupakan
yang pertama di Indonesia yang menampilkan perempuan-perempuan telanjang tanpa
sehelai benang pun. Memasuki tahun 1988, pornografi di Indonesia mulai menggila
lagi. Film dengan judul Pembalasan Ratu Laut Selatan, sangat mengejutkan
masyarakat. MUI mengajukan protes keras atas produksi dan peredaran film
tersebut. Sebagian kalangan menilai bahwa film tersebut masuk dalam kategori softcore
pornography. Pada waktu yang bersamaan,
Badan Sensor Film (BSF) juga menarik peredaran film Akibat terlalu Genit.
Menurut
catatan Badan Sensor Film, selama semester 1 tahun 1984/85, BSF telah menyensor
60-an judul film. Dari judul sebanyak itu, 44 judul atau 67,3%, harus mengalami
pemotongan lantaran menggambarkan adegan porno. Beberapa judul film yang
bernada provokatif antara lain: Cinta di Balik Noda, Tergoda Rayuan, Midah
Gadis Buronan, Kawin Kontrak, Pengantain Pantai Biru, dan Gadis Simpanan.
Ledakan film
pornografi di Indonesia menggila lagi pada awal tahun 1990-1994 an. Produksi
perfilman semakin masif mengeksploitasi pornografi,. Tengok saja judul-judul
film yang dirpoduksi tahun itu: Ranjang yang Ternoda, Ranjang Pemikat,
Asmara, Perempuan di Persimpangan Jalan,Gairah Malam, Gairah Cinta, Gairah yang
Nakal, Gadis Malam,Gadis Metropolis, Janda Kembang, Selir Sriti, Selir Durga
Ratih,Akibat Hamil Muda, Kenikmatan Tabu, Setetes Noda Manis, Cinta Dalam
Nafsu, Godaan Perempuan Halus, Skandal Ibis, MisteriPermainan Terlarang,
Sorgaku Nerakaku. Judul-judul itu baru sebagian dari sekitar 40-an judul
film yang dikategorikan porno.
Bahan-bahan
yang bersifat pornografi dan pornoaksi, baik lewat VCD/DVD, medsos maupun
situs-situs online, terus berkembang biak bagai penyakit menular. Protes-protes
dan kecaman senantiasa muncul dari masyarakat. Namun, protes-protes dan kecaman
yang dilontarkan masyarakat itu sepertinya hanya berlaku sesaat. Karena setelah
protes itu reda, peredaran bahan-bahan ataupun situs-situs pornografi tersebut
kembali marak, bahkan dengan intensitas yang jauh lebih tinggi dibanding
sebelumnya. Belajar dari pengalaman negara lain, sudah seharusnya pemerintah
Indonesia bertanggung jawab melindungi warga negaranya, terutama anak-anak dan
generasi mudanya dari kebiadaban makhluk pornografi.[14]
Efek pornografi terhadap remaja
terdiri dari empat tahapan yang meliputi adiksi, eskalasi, desensitisasi dan act
out (Supriati & Fikawati, 2009). Adiksi adalah tahap kecanduan,
yaitu keinginan untuk mengkonsumsi pornografi kembali timbul setelah terpapar
oleh konten tersebut sebelumnya. Berikutnya adalah eskalasi yaitu
munculnya kebutuhan untuk mengonsumsi konten pornografi dengan muatan materi
seks yang lebih berat daripada sebelumnya. Tahap yang ketiga, desensitisasi,
merupakan tahap ketika materi seks yang awalnya tabu, tidak bermoral dan merendahkan
martabat manusia secara perlahan
dianggap sebagai sesuatu yang biasa, bahkan pada tahap ini, seseorang dapat
menjadi tidak sensitif terhadap korban kekerasan seksual. Hal ini juga senada
dengan pandangan ahli yang melihat pornografi sebagai bentuk subordinasi terhadap
perempuan. Tahap terakhir, act out, adalah tahapan yang dapat
dikategorikan sebagai tahapan yang paling nyata karena pada tahap ini, seseorang
dapat mengaplikasikan perilaku seksual pornografi yang selama ini hanya
dikonsumsinya.[15]
Hasil studi lainnya yang dimuat
di situs The Conversation menunjukkan bahwa anak muda yang mengonsumsi
pornografi cenderung akan mengembangkan perilaku seksual abusif. Mereka yang
pernah menyiksa orang lain secara seksual mengatakan bahwa jika saja mereka
menerima bantuan terkait permasalahan mereka dengan pornografi, maka
kecenderungan mereka untuk berlaku abusif akan berkurang (McKibbin, Hamilton,
& Humphreys, 2016).[16]
Dampak Pornografi :
a.
Intensitas menonton dan membaca pornografi
b.
Perilaku seksual menyimpang terhadap
diri sendiri.
1)
Mendorong remaja untuk meniru
melakukan tindakan seksual
2)
Membentuk sikap,nilai,dan perilaku
yangg negatif
3)
Menyebabkan suliit berkonsentrasi belajar
sehingga terganggu jati dirinya
4)
Tertutup, minder dan tidak percaya
diri
2.
Pornoteks
Adalah karya pencabulan (porno) yang ditulis sebagai naskah cerita
atau berita dalam berbagai versi hubungan seksual,dalam berbagai bentuk narasi,
konstruksi cerita,testimonial,atau pengalaman pribadi secara detaail dan
vulgar, termasuk pula cerita porno dalam buku-buku komik, sehingga pembaca
seakan-akan ia menyaksikan sendiri, mengalami atau melakukan sendiri peristiwa
hubungan-hubungan seks itu. Penggambaran yang detail secara narasi terhadap
hubungan seks inni menyembabkan terciptanya theatre of the mind pembaca
tentang arena seksual yang sedang berlangsung, sehingga fantasi seksual pembaca
menjadi “menggebu-gebu” terhadap objek hubungan seks yang digambarkan itu.
3.
Pornosuara
Pornosuara,
yaitu,tuturan,kata-kata, dan kalimat-kalimat yang diucapkan seseorang, yang
langssung atau tidak langsung bahkan secara halus atau vulgar melakukan rayuan
seksual, suara atau tuturan tentang objek seksual atau aktivitas seksual. Pornosuara
ini secara langsung ataau tidak memberi penggambaran tentang objek seksual
maupun aktivitas seksual kepada lawan
bicara atau pendengar, sehingga berakibat kepada efek rangsangan seksual
terhadap orang yang mendengar atau penerima informasi seksual itu.[18]
4.
Pornoaksi
Adalah
suatu penggambaran aksi gerakan,lenggokan, liukan, tubuh, penonjolan
bagian-bagian tubuh yang dominan memveri rangsangan seksual sampai dengan aksi
mempertontonkan payudara dan alat vital yang tidak sengaja atau disengaja untuk
memancing bangkitnya hawa nafsu seksual bagi yang melihatnya. Pornoaksi pada
awalnya adalah aksi-aksi subjek-subjek seksual yaangg dipertontonkan secara
langsung dari seseorang kepada orang lain,sehingga menimbulkan rangsangan
seksual bagi seseorang termasuk menimbulkan histeria seksual di masyarakat.
5.
Pornomedia
Dalam konteks media massa, pornografi,pornoteks,pornosuara,da
pornoaksi menjadi bagian-bagian yang saling berhubungan sesuai dengan karakter
media yang menyiarkan porno itu. Namun, dalam banyak kasus, pornografi (cetak-visual)
memiliki kedekatan dengaan pornoteks, karena gambar dan teks dapat disatukan
dalam media cetak. Sedangkan pornoaksi dapat bersamaan pemunculannya dengan
pornografi (elektronik) karena ditayangkan ditelevisi. Kemudian pornosuara
bersamaan dapat bersamaan muncul dalam media-visual,seperti televisi,atau media
audio semacam radio dan media telekomunikasi lainnyya seperti telepon. Bahkan varian-varian
porno ini menjadi satu dalam media jaringan,seperti internet yaitu sering
dikenal dengan cybersex,cyberporno,dan sebagainya. Agenda media tenttaang varian pencabulan
(porno) daan penggunaan media massa dan telekomunikasi ini untuk meenyebarkan
perncabulan tersebut inilah yang dimaksud dengan pornomedia.
Dengan
demikian, konsep pornomedia meliputi realitas porno yang diciptakan oleh media,seperti antara lain
gambar-gambar dan teks-teks porno yang dimuat dimedia cetak,film-film porno
yang ditayangkan ditelevisi, cerita-cerita cabul yang disiarkan diradio,providertelepon
yang menjual jasa suarra-suara rayuan porno dan sebagainya serta proses
penciptaan realitas porno itu
sendiri seperti proses
tayaangan-tayangan gambar serta ulasan-ulasan cerita tentang pencabulan di media
massa, proses rayuan-rayuan yang menggandung rangsangan seksual melalui
sambbungan telepon,penerbitann teks-teks porno, dan sebgainya. Berdasarkan historologi
pornomedia, pornomedia merupakan kecenderungan media massa dalam pemberitaannya
:
a.
Ketika media telah kehilangan
idealisme
b.
Ketika media merasa tirasnya
terancam menurun
c.
Ketika media massa perlu bersaing
dengan sesama media
d.
Ketika media baru memposisikan
dirinya dimasyarakat
e.
Ketika masyarakat membutuhkan
pemberitaan pornomedia.[19]
Dalam hal pornomedia,kebutuhan itu bersifat menndua. Pertama dalam
kasus tertentu,objek pornomedia (pemilik tubuh dalam gambar porno atau pencipta
pornografi),umumnya memperoleh bayaran yang cukup besar atas pemuaatan gambar
porno miiknya yang dimuat di suatu media massa. Artinya objek pornomedia
mengahasilkan sejumlah uang untuk kepentingan pribadi. Kedua, pornomedia
dibutuhkan masyarakat,karena itu masyarakat itu memililki andil yang beesar
terhadap munculnya pornomedia. Alasan kedua ini merupakan persoalan substansi
yang menjadikan pornomedia sebagai benang kusut yangg sulit ditanggulangi dari
masa ke masa. Substansi ini pula yangg menyebabkan kontrol sosial masyarakat
terhadap pornomedia menjadi sangat longggar, sementara pemerintah (penguasa)
sendiri tak mampu berbuat lebih banyak karena kesulitan peranti hukum. Inilah persoalannya,sehingga
pornomedia menjadi sisi gelap media massa dan eksplotasi perempuan terbesar
oleh media massa sepanjang masa.
Alasan menempatkan
pornomedia sebagai kekerasan perempuan terbesar di media massa karena :
a.
Media dengan sengaja menggunakan
objek perempuan untuk keuntungan bisnis mereka,dengan demikian penggunaan
pornomediadilakukan secara terencana untuk mengabaikan,menistakan, dan
mencampakkan harkat manusia,khususnya perempuan.
b.
Objek pornomedia (umumnya tubuh
perempuuan) dijadikan sumber kapital yang dapat mendatangkaan uang,sementara
perempuan sendiri menjadi subbjek yang disalahkan.
c.
Media massa telah mengabaikan
aspek-aspek moral dan perusakan terhadap nilai-nilai pendidikan dan agama serta
tidak bertaggungjawab terhadap efek-efek negatif yang terjadi di masyarakat.
d.
Selama ini berbagai pendapat menyudutkan
perempuan sebagai subjek yang bertanggungjawab atas pornomedia tidak pernah
mendapat pembelaan dari media massa dengan alasan pemberitaan dari media harus
berimbang;
e.
Media massa secara politik
menempatkan perempuan sebagai bagian kekuasaan mereka secara umum.[20]
C.
Pengaruh
Pornomedia : Kritik terahdap Pornografi
Bahaya
pornomedia dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
Mengubah perilaku normal menjadi
abnormal
2.
Meningkatkan kebiasaan menelusuri
dan mengonsumsi pornomedia dan menjadikan perilaku anomali sebagai kebiasaan.
3.
Mengumpulkan paandanggan tentang pornomedia
dan mengubah pandangan normal terhadap anomali pornomedia.
4.
Mencari kepuasaan pornomedia di
dunia nyata
5.
Sikap terhadap pencarian kepuasan
pornomedia di dunia nyata dan anomali seksual sebagai tindakan normal dan
wajar.
Jadi terlihat bahwa, pornomedia berada pada keadaan disorde, yaitu
kondisi yang melawan tatanan sosial yang ada berdasarkan struktur sosial
masyarakat yang melindungi seks dan aurat dalam bingkai norma tertutup dan
memilki nilai mulia dalam keluarga, masyarakat,dan agama. Menuju keadaan order,
yaitu sebuah tatanan sosial baru yang meningggalkan tatanan sosial lama
yang mengarah ke seks bebas yang menganggap seks dan aurat menusia sebagai
komoditas, media pemuasanbiologis yang lepas dari norma-norma masyarakat dan gama serta dapat dilakuukan tanpa harus
melalui lembaga perkawinan.
Melihat substansi persoalan maka yang palinng harus dirisukan adalah
bukan sekadar pornografi dan pornoaksi akan tetapi justru pornomedia, karena pornomedia adaalah
tindakan media massa yang mengeksploitasi semua varian porno, seperti
pornografi, pornoaksi, pornoteks, dan pornosuara untuk mencari keuntungan bagi
kepentingan kapitalisme media. Kekuatan pornomedia terletak pada kekuatan
konstruksi sosial media massa, Severin dan Tandark Jr. (2005) dan didalam
pornomedia (2005) mngataakan pemberitaan media massa adalah konstruksi sosial media.
Begitu pula, dalam Agenda Setting (McComb,1950) mengatakan isu media massa
menjadi penting bagi khalayak. Terpaan khalayak dalam teori peluru
(Schramm,1960) juga menunjukkan bahaya yang menyapu rata seluruh khhalayak
ketika sebuah pemberitaan disiarkan,walaupun teori ini dikoreksi oleh model
efek terbatas (Hovland, 1960) namun terpaan khalayaksering kali terjadi juga dalam banyak kasus pemberitaan
media massa saat ini.
Jadi kesimpulannya, bahwa substansi persoalan aadalah pada
pornomedia, karena apapun tindakan porno
yang dilakukan oleh masyarakat menjadi konnteks dalam “kewilayahan domestik”
namun apabila tindakan porno itu ditayangkan di media massa maka menjadi
konsumsi publik, maka pornomedia inilah yangg sangat berbahaya, karena
pornomedia mampu menciptakan kerusakan sosial yangg sangat besar melalui
kekuatan konstruksi sosial media massa itu.[21]
DAFTAR PUSTAKA
Bungin,Burhan.
Sosiologi Komunikasi,Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup.2006.
Kurnianingsih
Sri, Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan di Tempat Kerja, Jurnal
Psikologi. 11(2) : 116-129.
Maryandi
Yandi, Pornografi dan Pornoaksi ( Perspektif Sejarah dan Hukum Islam), Jurnal
Peradaban dan Hukum Islam. 1(1) : 21-40
Rachmaniar,
Prihandini Puji, Janitra Almashava Preciosa., Perilaku Penggunaan Smartphone
dan Akses Poornografi di Kalangan Remaja Perempuan, Jurnal Komunikasi
Global. 7(1) : 1-11
R
Haryani Mulya, Mudjiran, Syukur Yarmis., Dampak Pornografi terhadap
Peerilaku Siswa dan Upaya Guru Pembimbing untuk Mengatasinya, Jurnal Ilmiah
Konseling. 1(1) : 1-8
[3]Lihat
Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja,
Jurnal Psikologi,2003,hlm.117.
[4]
Lihat
Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja,
Jurnal Psikologi,2003,hlm.118.
[5]
Lihat
Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja,
Jurnal Psikologi,2003,hlm.119.
[6]
Lihat
Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja,
Jurnal Psikologi,2003,hlm.120.
[7]
Lihat
Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja,
Jurnal Psikologi,2003,hlm.120.
[8]
Lihat
Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja,
Jurnal Psikologi,2003,hlm.121,122.
[9]
Lihat
Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja,
Jurnal Psikologi,2003,hlm.122.
[10]
Lihat
Sri Kurnianingsih, Pelecehan Seksual terhadap Wanita di tempat kerja,
Jurnal Psikologi,2003,hlm.122,123.
[12]
Lihat Yandi
Maryandi, Pornografi dan Pornoaksi ( Perspektif Sejarah dan Hukum Islam),
Jurnal Peeradaban dan Hukum Islam,2018hlm.25,26.
[13]
Lihat Yandi
Maryandi, Pornografi dan Pornoaksi ( Perspektif Sejarah dan Hukum Islam),
Jurnal Peeradaban dan Hukum Islam,2018hlm.30.
[14]
Lihat Yandi
Maryandi, Pornografi dan Pornoaksi ( Perspektif Sejarah dan Hukum Islam),
Jurnal Peradaban dan Hukum Islam,2018,hlm.30,31.
[15]
Lihat Rachmaniar,Puji Prihandini,Preciosa Alnashava Janitra, Perilaku
Penggunaan Smartphone dan Akses Pornografi di Kalangan Remaja Perempuan, Jurnal
Komunikasi Global,2018,hlm.5
[16]
Lihat
Rachmaniar,Puji Prihandini,Preciosa Alnashava Janitra, Perilaku Penggunaan
Smartphone dan Akses Pornografi di Kalangan Remaja Perempuan, Jurnal
Komunikasi Global,2018,hlm.5.
[17]
Lihat Mulya Hariani, Mudjiran, Yarmis Syukur, Dampak Pornografi terhadap
Perilaku Siswa dan Upaya Guru Pembimbing untuk Mengatasinya, Jurnal
Ilmiiahh Konseling, 2012,hlm.5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar