Kamis, 15 November 2018

TEORI AGENDA SETTING

TEORI AGENDA SETTING
Jika diurai secara bahasa (etimologi) agenda setting diambil dari Bahasa Inggris yang terdiri dari dua suku kata, yakni agenda dan setting. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata agenda diartikan dalam 2 (dua) pengertian, yaitu: 1) buku catatan yang bertanggal untuk satu tahun: acara rapat itu telah dicatat dalam agenda; 2) acara (yang akan dibicarakan dalam rapat), hal itu tercantum juga dalam agenda rapat. Adapun kata mengagendakan, sebagai kata kerja (verb) berarti memasukkan dalam acara (rapat dan seminar).
Kata Setting atau yang dipadankan ke dalam Bahasa Indonesia dalam bentuk kata kerja (verb) dalam istilah “mengeset” diartikan sebagai pekerjaan menata, mengatur (tentang rambut, susunan huruf dalam mesin cetak, dan sebagainya): sudah menjadi kebiasaannya, ia mengeset rambut setiap pergi ke pesta, adapun orang yang mengerjakan pekerjaan mengeset dikatakan sebagai seorang “pengeset”. Sementara itu, jika kata mengeset diubah menjadi kata “pengesetan” artinya menjadi “pengaturan”
Berdasarkan pengertian secara etimologi di atas, maka pengertian agenda setting dapat dipahami sebagai pengaturan atau penyusunan agenda/acara/kegiatan. Hal ini sesuai dengan istilah yang dikemukakan oleh beberapa ahli komunikasi Indonesia sebagai penentuan atau penyusunan agenda. Lihat misalnya terjemahan dari pendapat Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss dalam Hamdan, 2009: 415). Lihat juga Nuruddin, 2007: 195).
Adapun asumsi dasar teori agenda setting  ialah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi, apanyangg dianggap penting bagi media, juga dianggap penting bagi masyarakat. Oleh karena itu apabila media massa emberi perhatian pada isu tertentu ddan mengabaikan hal yang lain maka akan memilki pengaruh terhadap pendapat umum.[1]
Tentu saja yang dipahami dalam keterkaitannya dengan pembahasan ini adalah peran media massa dalam penyusunan agenda/acara/kegiatan seseorang.[2]
Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang penentuan agenda adalah:
1)      Masyarakat pers dan massa media tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu;
2)      konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain.
Salah satu aspek yang paling penting dalam konsep penentuan agenda adalah peran fenomena komunikasi massa, berbagai media massa memiliki penentuan agenda yang potensial berbeda termasuk intervensi dari pemodal.
 











Tahun ditemukan 1972/1973
Intrepretasi:
Teori ini menjelaskan mengapa ketika orang menggunakan media yang sama juga ikut membicarakan hal yang sama pula. Walaupun persepsi dan perasaan setiap orang dalam menanggapi hal itu berbeda, tetapi pada dasarnya mereka tetap membicarakan hal yang sama.

Kritik:
Teori ini termasuk kedalam teori positivis karena teori ini berusaha memprediksikan jika beberapa orang diterpa oleh sebuah media yang sama, maka mereka akan membicarakan topik yang sama.
Menurut Chaffee & Berger’s (1997) kriteria
untuk teori positivis adalah:
1.      Mampu menjelaskan suatu peristiwa atau paradigma.
2.      Mampu memprediksikan suatu peristiwa atau paradigma.
3.      Efektif, tidak rumit dan mudah dipahami
4.      Bisa dibuktikan kebenarannya.[3]

Maxwell McCombs dan Donald Shaw merupakan orang yang pertama kali mengemukakan istilah ‘agenda setting’ (1972) dengan menyebut skandal Watergate merupakacontoh sempurna fungsi agenda setting media massa. “we judge as important what the media judge as important.” Masyarakat cenderung menilai sesuatu penting, sebagaimana media massa menganggap hal tersebut penting. Sebaliknya, jika isu tersebut tidak dianggap penting oleh media massa, maka isu tersebut juga menjadi tidak penting bagi diri masyarakat, bahkan menjadi tidak terlihat sama sekali. Ini artinya ada korelasi yang kuat dan signifikanantara apa-apa yang diagendakan oleh media massa dan apa-apa yang menjadi agenda publik.
Teori ini merupakan salah satu teori tentang proses dampak media atau efek komunikasi massa terhadap masyarakat dan budaya. Termasuk dalam Phase 3 dari The Primes Of Media Effect yakni Powerful Media Rediscovered. Sebenarnya, jauh sebelum McComb, para pakar komunikasi telah menyadari bahwa media massa memiliki kemampuan untuk mengembangkan berbagai isu publik. Di tahun 1922, Walter Lippmann6, seorang komentator dan penulis kolom di AS, sebagai orang pertama yang
mengemukakan gagasan mengenai agenda setting. ini. Dalam tulisannya, Lippmann menjelaskan bahwa media bertindak sebagai: ‘A mediator between the world outside and the picture in ourheads’7. (perantara antara dunia luar dan gambaran di kepala kita). Oleh karena itu, menurut Lippmann, media bertanggung jawab membentuk persepsi publik terhadap dunia.
Gambaran realitas yang diciptakan media hanyalah pantulan (reflection) dari realitas sebenarnya, dan karenanya, terkadang mengalami pembelokan atau distorsi. Gambaran yang diciptakan media massa mengenai dunia menciptakan apa yang disebutnya sebagai ‘lingkungan palsu’ atau pseudoenvironment, yang berbeda dengan realitas lingkungan sebenarnya. Dengan demikian publik tidak memberikan respon pada peristiwa yang sesungguhnya terjadi di lingkungan masyarakat, namun pada ‘the world outside and the picture inour head’, atau gambaran kenyataan, dan gambaran yang ada di dalam kepala. Lebih jauh, Lippmann mengatakan, lingkungan masyarakat yang sesungguhnya (riil) adalah terlalu besar, terlalu kompleks, terlalu cepat untuk dapat dikenali secara langsung. Objek individu tidak dilengkapi dengan kemampuan untuk menghadapi berbagai kerumitan, keragaman, perubahan dan berbagai kombinasi yang muncul, dan secara bersama-sama harus bertindak di dalam lingkungan tersebut. Individu
harus merekonstruksikan lingkungan melalui model yang lebih sederhana sebelum individu dapat mengelola lingkungan tersebut.
Gagasan ini kemudian dikembangkan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw, dengan peryataannya; bukti sudah bertumpuk bahwa editor media cetak dan para pengelola media penyiaran memainkan peran penting dalam membentuk realitas sosial, ketika mereka melakukan pekerjaan untuk memilih dan membuat berita. Dampak dari media massa, yaitu -kemampuannya untuk mempengaruhi perubahan kognitif individu, untuk membentuk pemikiran objek individu- dinamakan fungsi agenda setting komunikasi massa. EM Griffin8 menyatakan bahwa McCombs dan Donald Shaw meminjam istilah ‘agenda setting’ dari Bernard Cohen  melalui laporan penelitiannya mengenai fungsi khusus media massa. Bernard Cohen menyebutnya dalam konsep ‘The mass media may not succesful in telling us what to think, but they are stuningly sucessful in telling us what to think about’. Yakni, media massa mungkin tidak berhasil mengatakan kepada kita apa yang harus dipikirkan, tetapi mereka sangat berhasil untuk mengatakan kepada kita hal-hal apa saja yang harus kita pikirkan.
Walaupun para pakar belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yangkonvensional, namun belakangan diketemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk realitas sosial kita. Itu terjadi ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, mereka juga belajar sejauh mana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa. Media melakukan seleksi sebelum melaporkan berita kemudian melakukan gatekeeping terhadap informasi dan akan membuat pilihan apa saja yang akan diberitakan dan tidak. Apa yang diketahui oleh khalayak pada umumnya merupakan hasil dari media gatekeeping.
Dennis McQuail mengatakan bahwa istilah ‘agenda setting’ diciptakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw, dua peneliti dari Universitas North Carolina, untuk menjelaskan gejala atau fenomena kegiatan kampanye pemilihan umum (pemilu) yang telah lama diamati dan diteliti oleh kedua sarjana tersebut. DenisMcQuail12  menyebutnya sebagai “process by which the relative attention given to items or issues in news coverage infulences the rank order of public awareness of issues and attribution of significance. As an extension, effects on public policy may occur.” Disini agenda seting
didefinisikan sebagai sebuah proses dimana perhatian yang diberikan pada suatu permasalahan melalui liputan berita, menimbulkan kesadaran pada masyarakat tentang masalah tersebut. Sebagai efek selanjutnya, hal ini dapat membuat efek pada kebijakan publik.[4]
Dearing dan Rogers mendefinisikan agenda setting sebagai an ongoing competition among issue protagonists to gain the attention of media profesionals, the public and policy elites. (persaingan terus menerus diantara berbagai isu penting untuk mendapatkan perhatian dari para pekerja media, publik dan penguasa). Jenning Bryant dan Suzan Thomson14 (2002) menyatakan agenda setting adalah a strong link beetwen news stories and public issue salience, or the importance placed upon particular issues. (hubungan yang kuat antara berita yang disampaikan media dengan isu-isu yang dinilai penting oleh publik).
Kekuatan teori agenda setting adalah:
1)      Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, mereka juga belajar sejauhmana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa. Misalnya, dalam merenungkan apa yang diucapkan kandidat selama kampanye, media massa tampaknya menentukan isu-isu yang penting. Dengan kata lain, media menentukan “acara”(agenda) kampanye.
2)      Dampak media massa, kemampuan untuk menimbulkan perubahan kognitif di antara individu-individu, telah dijuluki sebagai fungsi agenda setting dari komunikasi massa.
Di sinilah terletak dari efek komunikasi yang terpenting, kemampuan media untuk menstruktur dunia buat kita. Tapi yang jelas agenda setting telah membangkitkan kembali minat peneliti pada efek komunikasi massa (Ritonga, 2011: 612).

Adapun kelemahan teori agenda setting adalah
1)      Mayoritas berita yang ditayangkan hanya menguntungkan si pemilik modal. Sebagai contoh, jika kita melihat beberapa acara media massa seperti TV ONE dan Metro TV, kesan-kesan masa kampanye pilpres 2014 masih cukup terasa, sehingga masyarakat juga sangat terpengaruh dengan keadaan tersebut. Masyarakat secara otomatis ada keengganan untuk menonton saluran yang mereka anggap tidak berpihak dengan keinginan mereka, begitu juga dengan media cetak.
2)       Selain dari itu teori agenda setting ini juga berperan bagaikan pengadilan.
Karena teori ini menganggap bahwa apa yang mereka beritakan itu adalah sebuah kebenaran padahal belum tentu seperti itu, sebab dalam proses kerja teori ini tidak ada istilah konfirmasi, yang ada hanya mendengarkan dari sepihak. Padahal seyogyanya dalam menyampaikan sebuah informasi media harus bersikap netral sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menentukan keputusan atau pun kebijakan.
Bila kita melihat dengan kacamata Islam, merupakan suatu keharusan bagi setiap individu maupun masyarakat untuk melakukan konfirmasi terhadap informasi yang mereka terima, terlebih bila si komunikator seorang yang kredibilitasnya masih dipertanyakan (fasik). Hal ini secara tegas dinyatakan Allah dalam firman-Nya Q.S Al-Hujarat: 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. [5]
DAFTAR PUSTAKA

Bungin,Burhan. Sosiologi Komunikasi,Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.2006.
Nugroho Cahyo Ari, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi, Jurnal Insani Stisip Widuri. 12(1) : 41-48.
Ritongan Yanti Elfa, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi. Jurnal Simbolika. 4(1) : 32-41



[1] Lihat Burhan Bungin,Sosiologi komunikasi,Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2006,hlm.285
[2]Lihat Elfi Yanti Ritonga, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi, Jurnal Simbolika, 2018, hlm. 2,3.
[3] Ari Cahyo Nugroho, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi, Jurnal Insani Stisip Widuri, 2012,hlm. 3
[4] Ari Cahyo Nugroho, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi, Jurnal Insani Stisip Widuri, 2012,hlm. 5

[5] Lihat Elfi Yanti Ritonga, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi, Jurnal Simbolika, 2018, hlm,9 .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CITRA KEKERASAN PEREMPUAN

CITRA KEKERASAN PEREMPUAN Pencitraan merupakan kumpulan citra ( the collection of images ) yang dipergunakan untuk melukiskan objek dalam...