TEORI AGENDA SETTING
Jika
diurai secara bahasa (etimologi) agenda setting diambil dari Bahasa
Inggris yang terdiri dari dua suku kata, yakni agenda dan setting.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata agenda diartikan dalam 2
(dua) pengertian, yaitu: 1) buku catatan yang bertanggal untuk satu tahun:
acara rapat itu telah dicatat dalam agenda; 2) acara (yang akan dibicarakan
dalam rapat), hal itu tercantum juga dalam agenda rapat. Adapun kata
mengagendakan, sebagai kata kerja (verb) berarti memasukkan dalam acara
(rapat dan seminar).
Kata
Setting atau yang dipadankan ke dalam Bahasa Indonesia dalam bentuk kata kerja (verb)
dalam istilah “mengeset” diartikan sebagai pekerjaan menata, mengatur
(tentang rambut, susunan huruf dalam mesin cetak, dan sebagainya): sudah
menjadi kebiasaannya, ia mengeset rambut setiap pergi ke pesta, adapun orang
yang mengerjakan pekerjaan mengeset dikatakan sebagai seorang “pengeset”.
Sementara itu, jika kata mengeset diubah menjadi kata “pengesetan” artinya
menjadi “pengaturan”
Berdasarkan
pengertian secara etimologi di atas, maka pengertian agenda setting dapat
dipahami sebagai pengaturan atau penyusunan agenda/acara/kegiatan. Hal ini
sesuai dengan istilah yang dikemukakan oleh beberapa ahli komunikasi Indonesia
sebagai penentuan atau penyusunan agenda. Lihat misalnya terjemahan dari
pendapat Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss dalam Hamdan, 2009: 415).
Lihat juga Nuruddin, 2007: 195).
Adapun
asumsi dasar teori agenda setting ialah bahwa jika media memberi tekanan pada
suatu peristiwa maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya
penting. Jadi, apanyangg dianggap penting bagi media, juga dianggap penting
bagi masyarakat. Oleh karena itu apabila media massa emberi perhatian pada isu
tertentu ddan mengabaikan hal yang lain maka akan memilki pengaruh terhadap
pendapat umum.[1]
Tentu
saja yang dipahami dalam keterkaitannya dengan pembahasan ini adalah peran
media massa dalam penyusunan agenda/acara/kegiatan seseorang.[2]
Dua
asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang penentuan agenda adalah:
1)
Masyarakat pers dan massa media tidak mencerminkan
kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu;
2)
konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat
untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain.
Salah satu
aspek yang paling penting dalam konsep penentuan agenda adalah peran fenomena komunikasi
massa, berbagai media massa memiliki penentuan agenda yang potensial berbeda
termasuk intervensi dari pemodal.
![]() |
Tahun
ditemukan 1972/1973
Intrepretasi:
Teori ini menjelaskan mengapa
ketika orang menggunakan media yang sama juga ikut membicarakan hal yang sama
pula. Walaupun persepsi dan perasaan setiap orang dalam menanggapi hal itu
berbeda, tetapi pada dasarnya mereka tetap membicarakan hal yang sama.
Kritik:
Teori
ini termasuk kedalam teori positivis karena teori ini berusaha memprediksikan
jika beberapa orang diterpa oleh sebuah media yang sama, maka mereka akan
membicarakan topik yang sama.
Menurut
Chaffee & Berger’s (1997) kriteria
untuk teori positivis adalah:
1.
Mampu menjelaskan suatu peristiwa atau paradigma.
2.
Mampu memprediksikan suatu peristiwa atau paradigma.
3.
Efektif, tidak rumit dan mudah dipahami
4.
Bisa dibuktikan kebenarannya.[3]
Maxwell
McCombs dan Donald Shaw merupakan orang yang pertama kali mengemukakan istilah ‘agenda
setting’ (1972) dengan menyebut skandal Watergate merupakacontoh sempurna
fungsi agenda setting media massa. “we judge as important what the
media judge as important.” Masyarakat cenderung menilai sesuatu
penting, sebagaimana media massa menganggap hal tersebut penting. Sebaliknya, jika
isu tersebut tidak dianggap penting oleh media massa, maka isu tersebut juga menjadi
tidak penting bagi diri masyarakat, bahkan menjadi tidak terlihat sama sekali.
Ini artinya ada korelasi yang kuat dan signifikanantara apa-apa yang
diagendakan oleh media massa dan apa-apa yang menjadi agenda publik.
Teori
ini merupakan salah satu teori tentang proses dampak media atau efek komunikasi
massa terhadap masyarakat dan budaya. Termasuk dalam Phase 3 dari The Primes
Of Media Effect yakni Powerful Media Rediscovered. Sebenarnya, jauh sebelum
McComb, para pakar komunikasi telah menyadari bahwa media massa memiliki
kemampuan untuk mengembangkan berbagai isu publik. Di tahun 1922, Walter
Lippmann6, seorang komentator dan penulis kolom di AS, sebagai orang pertama
yang
mengemukakan
gagasan mengenai agenda setting. ini. Dalam tulisannya, Lippmann
menjelaskan bahwa media bertindak sebagai: ‘A mediator between the
world outside and the picture in ourheads’7. (perantara antara dunia luar
dan gambaran di kepala kita). Oleh karena itu, menurut Lippmann, media
bertanggung jawab membentuk persepsi publik terhadap dunia.
Gambaran
realitas yang diciptakan media hanyalah pantulan (reflection) dari realitas
sebenarnya, dan karenanya, terkadang mengalami pembelokan atau distorsi. Gambaran
yang diciptakan media massa mengenai dunia menciptakan apa yang disebutnya sebagai
‘lingkungan palsu’ atau pseudoenvironment, yang berbeda dengan realitas lingkungan
sebenarnya. Dengan demikian publik tidak memberikan respon pada peristiwa yang sesungguhnya
terjadi di lingkungan masyarakat, namun pada ‘the world outside and the
picture inour head’, atau gambaran kenyataan, dan gambaran yang ada di
dalam kepala. Lebih jauh, Lippmann mengatakan, lingkungan masyarakat yang
sesungguhnya (riil) adalah terlalu besar, terlalu kompleks, terlalu cepat untuk
dapat dikenali secara langsung. Objek individu tidak dilengkapi dengan
kemampuan untuk menghadapi berbagai kerumitan, keragaman, perubahan dan
berbagai kombinasi yang muncul, dan secara bersama-sama harus bertindak di
dalam lingkungan tersebut. Individu
harus merekonstruksikan
lingkungan melalui model yang lebih sederhana sebelum individu dapat mengelola
lingkungan tersebut.
Gagasan ini kemudian dikembangkan
oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw, dengan peryataannya; bukti sudah bertumpuk
bahwa editor media cetak dan para pengelola media penyiaran memainkan peran penting
dalam membentuk realitas sosial, ketika mereka melakukan pekerjaan untuk memilih
dan membuat berita. Dampak dari media massa, yaitu -kemampuannya untuk
mempengaruhi perubahan kognitif individu, untuk membentuk pemikiran objek individu-
dinamakan fungsi agenda setting komunikasi massa. EM Griffin8 menyatakan
bahwa McCombs dan Donald Shaw meminjam istilah ‘agenda setting’
dari Bernard Cohen melalui laporan penelitiannya
mengenai fungsi khusus media massa. Bernard Cohen menyebutnya dalam konsep ‘The
mass media may not succesful in telling us what to think, but they are
stuningly sucessful in telling us what to think about’. Yakni, media
massa mungkin tidak berhasil mengatakan kepada kita apa yang harus dipikirkan,
tetapi mereka sangat berhasil untuk mengatakan kepada kita hal-hal apa saja
yang harus kita pikirkan.
Walaupun
para pakar belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan
masyarakat yangkonvensional, namun belakangan diketemukan cukup bukti bahwa
para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk
realitas sosial kita. Itu terjadi ketika mereka melaksanakan tugas keseharian
mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu
masyarakat dan hal-hal lain melalui media, mereka juga belajar sejauh mana pentingnya
suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa. Media melakukan
seleksi sebelum melaporkan berita kemudian melakukan gatekeeping terhadap
informasi dan akan membuat pilihan apa saja yang akan diberitakan dan tidak.
Apa yang diketahui oleh khalayak pada umumnya merupakan hasil dari media gatekeeping.
Dennis
McQuail mengatakan bahwa istilah ‘agenda setting’ diciptakan oleh
Maxwell McCombs dan Donald Shaw, dua peneliti dari Universitas North Carolina,
untuk menjelaskan gejala atau fenomena kegiatan kampanye pemilihan umum (pemilu)
yang telah lama diamati dan diteliti oleh kedua sarjana tersebut. DenisMcQuail12
menyebutnya sebagai “process by which
the relative attention given to items or issues in news coverage
infulences the rank order of public awareness of issues and attribution
of significance. As an extension, effects on public policy may
occur.” Disini agenda seting
didefinisikan sebagai sebuah
proses dimana perhatian yang diberikan pada suatu permasalahan melalui liputan
berita, menimbulkan kesadaran pada masyarakat tentang masalah tersebut. Sebagai
efek selanjutnya, hal ini dapat membuat efek pada kebijakan publik.[4]
Dearing
dan Rogers mendefinisikan agenda setting sebagai an ongoing
competition among issue protagonists to gain the attention of media profesionals,
the public and policy elites. (persaingan terus menerus diantara
berbagai isu penting untuk mendapatkan perhatian dari para pekerja
media, publik dan penguasa). Jenning Bryant dan Suzan Thomson14 (2002)
menyatakan agenda setting adalah a strong link beetwen news stories
and public issue salience, or the importance placed upon particular issues.
(hubungan yang kuat antara berita yang disampaikan media dengan
isu-isu yang dinilai penting oleh publik).
Kekuatan teori agenda setting adalah:
1)
Khalayak bukan saja belajar tentang
isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, mereka juga belajar
sejauhmana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh
media massa. Misalnya, dalam merenungkan apa yang diucapkan kandidat selama
kampanye, media massa tampaknya menentukan isu-isu yang penting. Dengan kata
lain, media menentukan “acara”(agenda) kampanye.
2)
Dampak media massa, kemampuan untuk
menimbulkan perubahan kognitif di antara individu-individu, telah dijuluki
sebagai fungsi agenda setting dari komunikasi massa.
Di sinilah
terletak dari efek komunikasi yang terpenting, kemampuan media untuk
menstruktur dunia buat kita. Tapi yang jelas agenda setting telah
membangkitkan kembali minat peneliti pada efek komunikasi massa (Ritonga, 2011:
612).
Adapun kelemahan teori agenda setting adalah
1)
Mayoritas berita yang ditayangkan
hanya menguntungkan si pemilik modal. Sebagai contoh, jika kita melihat
beberapa acara media massa seperti TV ONE dan Metro TV, kesan-kesan masa
kampanye pilpres 2014 masih cukup terasa, sehingga masyarakat juga sangat
terpengaruh dengan keadaan tersebut. Masyarakat secara otomatis ada keengganan
untuk menonton saluran yang mereka anggap tidak berpihak dengan keinginan
mereka, begitu juga dengan media cetak.
2)
Selain dari itu teori agenda setting ini
juga berperan bagaikan pengadilan.
Karena teori
ini menganggap bahwa apa yang mereka beritakan itu adalah sebuah kebenaran
padahal belum tentu seperti itu, sebab dalam proses kerja teori ini tidak ada
istilah konfirmasi, yang ada hanya mendengarkan dari sepihak. Padahal
seyogyanya dalam menyampaikan sebuah informasi media harus bersikap netral
sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menentukan keputusan atau pun kebijakan.
Bila kita melihat dengan kacamata Islam, merupakan suatu keharusan
bagi setiap individu maupun masyarakat untuk melakukan konfirmasi terhadap
informasi yang mereka terima, terlebih bila si komunikator seorang yang
kredibilitasnya masih dipertanyakan (fasik). Hal ini secara tegas dinyatakan
Allah dalam firman-Nya Q.S Al-Hujarat: 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ
فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ
نَادِمِينَ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu. [5]
DAFTAR PUSTAKA
Bungin,Burhan.
Sosiologi Komunikasi,Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup.2006.
Nugroho Cahyo
Ari, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi, Jurnal Insani Stisip
Widuri. 12(1) : 41-48.
Ritongan Yanti
Elfa, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi. Jurnal Simbolika. 4(1)
: 32-41
[2]Lihat Elfi
Yanti Ritonga, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi, Jurnal
Simbolika, 2018, hlm. 2,3.
[3] Ari Cahyo
Nugroho, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi, Jurnal Insani
Stisip Widuri, 2012,hlm. 3
[4] Ari Cahyo
Nugroho, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi, Jurnal Insani
Stisip Widuri, 2012,hlm. 5
[5] Lihat Elfi
Yanti Ritonga, Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi, Jurnal
Simbolika, 2018, hlm,9 .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar